Selasa, 06 Desember 2011


Kumis kucing (Orthosiphon spp.)
1. SEJARAH SINGKAT
Kumis kucing merupakan tanaman obat berupa tumbuhan berbatang basah yang tegak. Tanaman ini dikenal dengan berbagai istilah seperti: kidney tea plants / java tea (Inggris), giri-giri marah (Sumatera), remujung (Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan songot koneng (Madura). Tanaman Kumis kucing berasal dari wilayah Afrika tropis, kemudian menyebar ke wilayah Asia dan Australia. Nama daerah: Kumis kucing (Melayu – Sumatra), kumis kucing (Sunda), remujung (Jawa), se-salaseyan, songkot koceng (Madura).
2. URAIAN TANAMAN
2.1 Klasifikasi
  • Divisi : Spermatophyta
  • Sub divisi : Angiospermae
  • Kelas : Dicotyledonae
  • Keluarga : Lamiaceae
  • Genus : Orthosiphon
  • Spesies : Orthosiphon spp.
2.2 Deskripsi
Tanaman terna yang tumbuh tegak, pada buku-bukunya berakar tetapi tidak tampak nyata, tinggi tanaman sampai 2m. Batang bersegi empat agak beralur. Helai daun berbentuk bundar telur lonjong, lanset, lancip atau tumpul pada bagian ujungnya, ukuran daun panjang 1 – 10cm dan lebarnya 7.5mm – 1.5cm, urat daun sepanjang pinggir berbulu tipis atau gundul, dimana kedua permukaan berbintik-bintik karena adanya kelenjar yang jumlahnya sangat banyak, panjang tangkai daun 7 – 29cm. Kelopak bunga berkelenjar, urat dan pangkal berbulu pendek dan jarang sedangkan di bagian yang paling atas gundul. Bunga bibir, mahkota berwarna ungu pucat atau putih, dengan ukuran panjang 13 – 27mm, di bagian atas ditutupi oleh bulu pendek yang berwarna ungu atau putih, panjang tabung 10 – 18mm, panjang bibir 4.5 – 10mm, helai bunga tumpul, bundar. Benang sari ukurannya lebih panjang dari tabung bunga dan melebihi bibir bunga bagian atas. Buah geluk berwarna coklat gelap, panjang 1.75 – 2mm.
2.3 Jenis Tanaman
Spesies kumis kucing yang terdapat di Pulau Jawa adalah O. aristatus, O. thymiflorus, O. petiolaris dan O. tementosus var. glabratus. Klon kumis kucing yang ditanam di Indonesia adalah Klon berbunga putih dan ungu.

3. MANFAAT TANAMAN
·         Nyeri buang air seni : Cara I: Seduh dan minum sejumput daun kumis kucing yang dikeringkan seperti teh, boleh juga kalau diberi gula aren. Cara II: 1 sendok daun kumis kucing yang dilumatkan, 7 batang meniran, rebus dengan dua gelas air sampai air tinggal setengah. Minum air rebusan itu sebanyak 3x sehari
·         Batu ginjal : Cara I: 25 g daun kumis kucing, 25 g daun ngokilo, 25 g daun meniran dengan akarnya, 25 g daun keji beling, dicuci. Rebus dengan 4 gelas air sampai mendidih. Minum semua air rebusan itu dalam sehari. Cara II: 3 genggam daun kumis kucing, 5 helai daun keji beling dicuci, rebus dengan 2 gelas air. Minum airnya 2x sehari, pagi dan sore, selama 10 hari. Sesudah 10 hari, ganti dengan air rebusan jagung muda, 1 x sehari. Hindari makan daging kambing, durian serta makanan pedas.
·         Rematik : Sesendok kecil daun kumis kucing yang dilumatkan, 1 sendok makan daun meniran yang sudah dilumatkan juga, direbus dengan segelas air sampai airnya tinggal 3/4. Saring. Lalu diminum.
·         Sakit pinggang : 7 helai daun dan 2 potong akar kumis kucing dicuci. Rebus dengan 1 gelas air. Biarkan satu malam, baru diminum.
·         Radang ginjal : 40 helai bunga dan daun kumis kucing, 3 belimbing wuluh tua dicuci, dihaluskan. Seduh dengan 2 gelas air. Minum 3x sehari. Lakukan selama 1 minggu.
·         Masuk angin : 1 sendok daun kumis kucing dan direbus dengan segelas air sampai air tinggal setengah. Diminum sekaligus.
·         Demam : 100 g akar kumis kucing dicuci, rebus dengan 3 gelas air. Setelah mendidih, saring, dan ambil airnya. Minum air rebusan ini 1 gelas sehari.
·         Susahkencing
Daun kumis kucing segar 1/4 genggam; Air 1 gelas, Direbus hingga memperoleh cairan 1/2 gelas, Diminum setiap hari 2 kali dan tiap kali minum 1/2 gelas
·         Batuginjal
Herba kumis kucing 6 g; Herba meniran 7 pohon; Air 110 ml, Dibuat infus, Diminum 2 kali sehari; tiap kali minum 100 ml
·         Kencing manis, Daun kumis kucing 20 helai; Daun sambiloto 20 helai; Air 110 ml, Dibuat infus, Diminum 1 kali sehari; 100 ml
·         Sakitpinggang
Daun kumis kucing segar 1 genggam; Kulit batang pepaya seluas 4 cm2; Air 110 ml, Dibuat infus, Diminum 1 kali sehari 100 ml







Bunga Tahi Ayam (Lantana camara Linn)


Klasifikasi
  • Divisi              : Spermatophyta
  • Sub divisi        : Angiospermae
  • Kelas               : Dicotyledonae
  • Keluarga          : Verbenaceae
  • Genus              : Lantana
  •  Spesies           : Lantana camara Linn
Nama Lain : Yellow Sage, Shrub Verena, Lantana, Red Sage,Vandreblomst.
Indonesia : kembang telek, tembelekan Kembang satek, saliyara, saliyere, tahi ayam, tahi kotok,; cente (Sunda) kembang telek, obio, puyengan, tembelek,; tembelekan, teterapan (jawa), kamanco, mainco,; tamanjho (Madura), Bunga pagar, kayu singapur, lai ayam; (Sumatera);
China:Wu se mei
inggris : Sage, wild sage
Sinonim : Lantana aculeata L..


Deskripsi :
Herba batang berbulu dan berduri serta berukuran lebih kurang 2 m. Daunnya kasar, beraroma dan berukuran panjang beberapa sentimeter dengan bagian tepi daun yang bergerigi. Bercabang banyak, ranting bentuk segi empat, ada varietas berduri dan ada varietas yang tidak berduri. Daun tunggal, duduk berhadapan bentuk bulat telur ujung meruncing pinggir bergerigi tulang daun menyirip, permukaan atas berambut banyak terasa kasar dengan perabaan permukaan bawah berambut jarang. Bunga dalam rangkaian yang bersifat rasemos mempunyai warna putih, merah muda, jingga kuning, dsb. Buah seperti buah buni berwarna hitam mengkilap bila sudah matang.

Pemanfaatan :
KEGUNAAN:
1. Akar: Influenza, TBC kelenjar, rheumatik, fluor albus (keputihan).
2. Bunga: TBC dengan batuk darah, asthmatis.
3. Daun: Obat sakit kulit, bisul, bengkak, gatal-gatal, panas tinggi, rheumatik, memar.
PEMAKAIAN LUAR:
Daun segar dilumatkan untuk ditempelkan ke tempat yang sakit atau direbus secukupnya untuk cuci pada penyakit kulit, bisul, luka berdarah, memar, keputihan.
CARA PEMAKAIAN:
- TBC paru dengan batuk darah: 6 – 10 gr. bunga kering direbus.
- Rheumatik: rebusan akar secukupnya untuk mandi.
PERHATIAN :
- Kelebihan dosis menyebabkan pusing dan muntah-muntah.
- Wanita hamil: tidak boleh, kematian janin!

Komposisi :
SIFAT KIMIAWI DAN EFEK FARMAKOLOGIS: Akar: Rasa manis, sejuk. Penurun panas, penawar racun (antitoxic), penghilang sakit. Daun: rasa pahit, sejuk, berbau, agak beracun (toxic). Menghilangkan gatal (anti pruritus), antitoxic, menghilangkan pembengkakan. (anti-swelling). Bunga: Rasa manis, sejuk, penghenti perdarahan (hemostatik). KANDUNGAN KIMIA: Daun: Lantadene A (0,31-0,68%), lantadene B (0,2%), lantanolic acid, lantic acid, humulene (mengandung minyak menguap 0,16 – 0,2%), Beta-caryophyllene, gamma-terpidene, alpha-pinene, p-cymene.














bunga


GENTIALES
KAMBOJA – KAMBOJAAN (Apocynaceae)
Ina Erlinawati (Herbarium Bogoriense, Puslit Biologi LIPI)
Bunga kamboja – Plumeria acuminata Ait. (P. acutifolia Poir.). Masyarakat Jawa menyebutnya “kamboja, samboja, semboja”. Dalam bahasa Sunda dinamakan” kamoja, samoja”. Di Bali dinamakan ”bunga Japun (bunga Jepang)”. Tumbuhan ini berasal dari Amerika Tengah, terutama dari Ekuador, Jamaika dan Meksiko. Mula – mula tumbuhan ini dibawa dari Meksiko oleh orang – orang Spanyol ke Kepulauan Filipina. Pada masa Rumphius, tumbuhan ini sampai ke Ambon tetapi tidak diketahui bagaimana tumbuhan ini bisa sampai ke pulau tersebut. Pada waktu yang sama, tumbuhan ini juga sampai ke India, tetapi perjalanan tumbuhan sampai kesana juga tidak tercatat. Tumbuhan ini telah ada di India sejak abad ke-18 dan tumbuhan tersebut telah dibawa ke Eropa lama sebelumnya. Orang Spanyol membawanya melintasi Pasifik sebagai tanaman hias, juga karena tumbuhan tersebut berkhasiat obat.
Tumbuhan ini berupa perdu atau pohon pendek; daun berseling, memanjang – melanset, ujung meruncing pendek, tulang daun banyak, 20 – 37,5 cm x 6 – 12,5 cm, tangkai daun 5 – 9 cm; mahkota bunga berbentuk corong, bercuping 5, cuping mahkota berbentuk bulat telur, lebar segmen mahkota 16 – 25 mm, di sisi luar, di bagian yang overlapping, hanya ujungnya yang berwarna merah, sisi sebelah dalam tidak berwarna merah; perbungaan pada tangkai bunga sepanjang 4 – 15 cm, gundul atau sangat sedikit berambut; tabung mahkota berbentuk silindris, di bagian luar gundul, kerongkongan dan pangkal tabung mahkota berambut; folikel dengan ujung sempit, tumpul, berwarna violet gelap – coklat, gundul, 15 – 20 cm x 2 – 2,75 cm; percabangan gundul; biji gundul, berukuran ± 4 cm. Tumbuhan ini hidup pada daerah dengan ketinggian 1,5 – 6 m alt, berbunga sepanjang tahun dan merupakan tanaman asli Amerika Tropik. Di Jawa, biasanya ditanam terutama di makam.
Kulit tumbuhan Plumeria acuminata Ait. (P. acutifolia Poir.), di Jawa digunakan untuk sakit belak yaitu telapak kaki yang bernanah dan berbelah – belah. Air seduhan yang dingin digunakan untuk merendam kaki yang bengkak, untuk penyakit busung air dan penyakit kelamin. Di Madura, seduhan kulit atau akarnya digunakan untuk obat kencing nanah. Getah yang dikeluarkan dari semua bagian tumbuhan dioleskan pada gusi dan untuk mengobati geraham yang berlubang. Getah juga bisa untuk menutupi luka – luka kecil dan mematangkan bengkak – bengkak dengan cepat. Di Madura, getah diminum untuk obat buang air atau pencahar. Di Meksiko, P. acuminata menghasilakan kautcuk dan menghasilkan karet rata – rata 14 – 16 % dengan kualitas yang cukup baik dan diduga bahwa hasil yang terbaik dapat dicapai dengan memangkas cabang – cabang yang muda secara teratur dan mengolahnya. Daunnya yang diremas – remas menjadi bubur, berguna sebagai obat untuk mematangkan bengkak – bengkak dan Rumphius memberitakan bahwa bunganya dibuat manisan oleh orang  Cina di Jakarta, tetapi diduga manisan ini dapat menyebabkan orang mabuk.
Selain itu, adapula jenis P. rubra L. Tumbuhan ini berupa pohon pendek atau perdu, tinggi mencapai 8 m dengan daun memanjang – melanset, ujung meruncing pendek, mengurva terbalik atau tegak, berukuran 14 – 30 cm x 5 – 10 cm, panjang tangkai daun 2,5 – 7 cm; mahkota bunga berbentuk corong, bercuping 5, cuping mahkota berbentuk bulat telur, lebar segmen mahkota 25 – 35 mm. Di sisi luar, seluruh bagian yang overlapping berwarna merah tua, begitu juga di sisi dalam, bagian luar tabung berwarna merah tua; perbungaan pada tangkai bunga sepanjang 6 – 20 cm, biasanya berambut kadang agak gundul, ujung percabangan perbungaan ungu atau seluruhnya ungu gelap; folikel meruncing, panjang 13 – 20 cm. Habitat pada daerah dengan ketinggian 2 – 6 m alt. P. rubra merupakan tumbuhan asli Meksiko, Amerika Tengah dan Venezuela. Penyebaran P. rubra  adalah di Meksiko hingga Guiana dan Ekuador, juga di India Barat. Di India Barat dinamakan ”West Indian Red Jasmine”. Di Jawa ditanam untuk memproduksi buah.
Jenis plumeria yang lain adalah P. alba L.  Sama dengan jenis yang lain, tumbuhan ini berupa pohon pendek atau perdu dengan daun memanjang – melanset, tetapi ujung tumpul atau membundar, tepi daun mengurva terbalik, ibu tulang daun dan tulang daun lebih mengkilap pada permukaan atas, permukaan atas daun gundul dan permukaan bawah berambut abu – abu, berukuran 20 – 30 cm x 5,5 – 8,5 cm; tangkai daun 4,5 – 6,5 cm; mahkota bunga berbentuk corong, bercuping 5, cuping mahkota berbentuk bulat telur – bulat telur terbalik, panjang segmen mahkota 1,75 – 2,25 x lebarnya, lebar 16 – 21 mm, tangkai bunga 14 – 20 cm; folikel menggaris, lembut, panjang 15 – 28 cm. Tumbuhan ini hidup pada daerah dengan ketinggian 4 – 6 m alt. P. alba merupakan bunga kebangsaan Nikaragua dan Laos. Di Nikaragua dinamakan "Sacuanjoche" dan di Laos dinamakan "Champa". Di Jawa ditanam sebagai tanaman hias.
Plumeria merupakan genus kecil yang terdiri atas 8 jenis dan merupakan tumbuhan asli Amerika tropik dan subtropik. Kata plumeria digunakan untuk menghargai jasa botanis berkebangsaan Perancis Charles Plumier, yang menjelajahi Dunia Baru pada abad ke-17 untuk mengumpulkan berbagai jenis tumbuhan dan binatang. Semua jenis plumeria sering dinamakan ”frangipani”. Kata ”frangipani” berasal dari bahasa Perancis, ”franchipanier”, susu yang terkoagulasi yaitu eksudat berupa getah putih yang keluar dari semua bagian tanaman yang terluka. Pendapat lain menyatakan bahwa nama tersebut berasal dari nama seorang peraih nobel berkebangsaan Italia yang menemukan senyawa untuk parfum yang dihasilkan dari bunga tumbuhan tersebut yang berbau sangat harum. Plumeria tumbuh bagus di daerah panas. Perbanyakan dilakukan dengan stek pada bulan Februari – Maret atau dengan kultur jaringan. Selain itu dapat juga dengan perkecambahan biji. Di Kepulauan Pasifik, tanaman ini sering terdapat di makam.
Selain Plumeria, marga lain yang termasuk kedalam suku Apocynaceae adalah Adenium, yang saat ini banyak diminati sebagai tanaman hias berpenampilan seperti bonsai. Di Indonesia, Adenium dikenal dengan nama Kamboja Jepang. Nama ini sebenarnya menyesatkan, karena dapat disamakan dengan kamboja, yang banyak ditemui di areal pemakaman, yang kita bahas diatas. Sedangkan penambahan kata jepang seakan-akan bunga ini berasal dari Jepang, padahal Adenium berasal dari Asia barat dan Afrika.            Masyarakat Indonesia menamakan Adenium sebagai Kamboja Jepang. Hal ini kemungkinan dikaitkan dengan stereotype yang beredar. Contohnya buah-buahan yang besar biasa dinamakan sebagai buah Bangkok, sedangkan tanaman yang kecil-kecil biasa disebut Jepang, sehingga jika sejak dahulu sudah ada Kamboja yang berperawakan tinggi besar, maka begitu ada tanaman yang perawakannya kecil tapi mirip dengan Kamboja, maka tanaman tersebut dinamakan Kamboja Jepang. Sebenarnya Kamboja sendiri termasuk kedalam marga Plumeria, yang merupakan kerabat jauh dari Adenium. Plumeria berbatang kecil memanjang tanpa bentuk umbi, dengan perawakan yang besar dan dapat tumbuh tinggi, dengan bentuk daun panjang dan besar. Sedangkan Adenium berbatang besar dengan bagian bawah menyerupai umbi, namun perawakan tanamannya sendiri kecil dengan daun kecil panjang. Akar adenium juga dapat membesar menyerupai umbi.
Adenium berasal dari daerah gurun pasir yang kering, dari daratan Asia Barat sampai Afrika. Di sana dinamakan Mawar Padang Pasir (desert rose). Tanaman ini lebih menyukai kondisi media yang kering dibandingkan media yang terlalu basah karena Adenium berasal dari daerah kering. Tanaman ini dinamakan Adenium, karena salah satu tempat asal Adenium adalah daerah Aden (Ibukota Yaman).
Akar Adenium yang membesar seperti umbi adalah tempat menyimpan air sebagai cadangan disaat kekeringan. Akar yang membesar ini bila dimunculkan diatas tanah akan membentuk kesan unik seperti bonsai. Sedangkan batangnya lunak tidak berkayu (disebut juga sebagai sukulen), namun dapat membesar. Tunas-tunas samping dapat tumbuh dari mata tunas pada batang atau bekas daun yang gugur. Mata tunas samping tersebut akan berfungsi (tumbuh) apabila pucuk atas tanaman dipotong. Hal inilah yang dilakukan orang pada saat memprunning atau memangkas, untuk mendapatkan daun baru dan agar bunga yang akan muncul nantinya lebih serempak. Daun Adenium beragam, melonjong, runcing, kecil dan besar, serta ada yang berbulu halus, ada pula yang tanpa bulu. Sedangkan bunga Adenium berbentuk seperti terompet, berkelopak 5, dengan aneka ragam warna sesuai dengan jenis (varietasnya) masing-masing.
Marga Adenium hanya terdiri atas satu jenis yaitu Adenium obesum yang terdiri atas beberapa subjenis antara lain Adenium obesum subsp. boehmianum yang tersebar di Namibia, Angola, Adenium obesum subsp. obesum yang tersebar di Arabia, Adenium obesum subsp. oleifolium, dengan daerah penyebaran Afrika Selatan, Botswana, Adenium obesum subsp. socotranum, yang tersebar di Socotra, Adenium obesum subsp. somalense, dengan daerah penyebaran Afrika Timur, serta Adenium obesum subsp. swazicum yang tersebar di daerah Afrika Tenggara.

Apocynaceae mencakup tumbuh – tumbuhan berupa pohon atau terna, tegak atau memanjat, jarang sekali yang berupa herba; bergetah putih. Daun berhadapan atau melingkar. Bunga biseksual, teratur, dalam malai sederhana atau korimbosa. Tabung kelopak pendek, bercuping 5, biasanya terdapat kelenjar di dalamnya. Tabung mahkota panjang dan berbentuk corong, bercuping 5, terpilin. Benang sari 5, epipetal; kepala sari menggaris. Ginesium berbakal buah 2; 2 bakal biji, kebanyakan superior. Buah terdiri atas sepasang folikel, berupa pelok atau kapsul.
Kamboja – kambojaan merupakan suku tumbuh – tumbuhan yang besar, terdiri atas lebih dari 300 marga yang kebanyakan kosmopolitan dan melimpah di daerah tropik. Sekitar 30 marga merupakan tumbuhan asli Malaya.

Ini perlu diperbaiki lho atau rewrite
WIDURI-WIDURIAN (ASCLEPIADACEAE)
Sri Rahayu (Pusat Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya Bogor, LIPI)
Widuri (Calotropis gigantea) .......................................................
Pertelaan....................................................................................
Suku Widuri-widurian (Asclepiadaceae) pada umumnya tumbuh di daerah tropis atau subtropis.  Pada saat sekarang, terdapat 240 marga dengan 3400 jenis.  Daripadanya, 61 marga termasuk tumbuhan sukulen dalam arti luas (Albers & Meve, 2002). 
Suku ini telah mengalami beberapa kali revisi.  Pada saat ini dianggap sebagai sebuah suku mengikuti pendapat Schumann (1895), Bruyns & Forster (1991) serta Liede & Albers (1994) yang membagi anggotanya ke dalam tiga yang anak suku, yaitu Periplocoideae, Secamonoideae dan Asclepiadoideae.  Pandangan konservatif ini digunakan karena sistem ini masih digunakan dan diterima oleh ilmuwan maupun masyarakat awam.  Namun demikian, menurut pendapat Olmstead et al (1993) atau Sennblad & Bremer (1996) yang mendasarkan pada hasil studi molekuler, ketiga anak suku tersebut disarankan untuk dimasukkan ke dalam suku kamboja-kambojaan (Apocynaceae)  dengan mengabaikan suku Widuri-widurian (Asclepiadaceae), kembali pada masa Jussieu sebelum revisi oleh Robert Brown.  Konsep ini kemudian di transformasi ke dalam taksonomi formal oleh Endress & Bruyns (2000). 
Penerimaan oleh kalangan luas terhadap konsep Bruyns & Forsters (1991) dengan landasan studi morfologi, berdasarkan klasifikasi Brown (1895) dan Schumann (1895).
Anggota suku Asclepiadaceae memiliki struktur bunga yang kompleks dalam kaitannya dengan spesialisasi dalam sistem penyerbukan.  Dari tingkat kemajuan struktur bunga serta modifikasi serbuk sari menjadi polinia, tumbuhan ini menjadi seprti ”anggrek” pada dikotiledon. Dengan struktur bunga yang kompleks, unik, indah dan memiliki komposisi warna yang menakjubkan, serta sifat sukulen dari sebagian anggotanya, menjadikannya disukai para pecinta tanaman, terutama untuk marga Stapelia dan bebera puluh marga sukulen lainnya yang hidup bak kaktus di habitat gurun pasir Afrika dan Asia Tengah.  Yang paling spektakuler adalah Stapelia gigantea dengan bau bunga bangkai serta ukuran bunga yang relatif besar dengan garis tengah mencapai hingga 1,5 meter.  
Kelompok marga lain yang tak kalah menarik adalah kelompok epifit yang juga memiliki sifat sukulensi dan struktur bunga yang menarik, yaitu Hoya yang tumbuh di kawasan Asia Tenggara (Malesia) dan Australasia. 
Sedangkan untuk kelompok semak dan perdu, marga yang dikenal luas yaitu Widuri (Calotropis gigantea) dan kembang moro seneng (Asclepias currassavica). 
       Sebagai tumbuhan obat, dikawasan India banyak dimanfaatkan tumbuhan rambat, terutama dari puak Marsdeniae.  Sedangkan yang secara luas dimanfaatkan di kawasan Melayu  yaitu tarum (Marsdenia tinctoria)
INI pertelaan dan penyajiannya belum standar
GENTIALES
Kopi-kopian (Rubiaceae)
Ina Erlinawati & Tika Dewi Atikah (Herbarium Bogoriense, Puslit Biologi – LIPI)
Kopi merupakan salah satu genus terbesar dari Rubiaceae, kurang lebih terdari dari 90 jenis dan hanya lima atau enam jenis saja yang cocok di budidaya (Ferwerda, 1976). Kopi-Coffea L. berasal dari nama provinsi di Abyssina yaitu Caffa (Grieve,2007). Afrika merupakan rumah berbagai jenis kopi dan dari sini kopi di bawa para penjelajah ke seluruh dunia. Kopi liar banyak ditemukan pada lapisan bawah hutan (understorey) di Afrika, sebagai contoh Coffea canephora (kopi robusta) dapat ditemukan di hutan dataran rendah dari Guinea sampai Uganda, sedangkan keanekaragaman genetik C. arabica (kopi arabika) terbatas di Barat Daya dataran tinggi Ethopia. Saat ini, budidaya kopi sudah ada dimana-mana, contoh C. arabica terbatas hanya di dataran tinggi terutama di Papua New Guinea, Indonesia, Vietnam, Philipina, Thailand bagian utara dan Burma (Myanmar), sedangkan C. canephora banyak di budidaya di Indonesia, Vietnam, India dan Afrika tengah.
Kedua jenis kopi di atas dapat dibedakan dengan mudah. Kopi arabika berperawakan perdu atau pohon kecil dengan tinggi 4-5 m dan apabila dibudidaya tingginya hanya mencapai 1,8-2,5 m, kopi robusta merupakan pohon dengan tinggi 8-12 m dengan percabangan yang lebih fleksibel. Daun kopi berhadapan, berpautan, berwarna hijau, licin, bagian permukaan berkilau dan bagian bawah berwarna lebih tua serta lebih pucat. Daun penumpu interpetiolar, hampir menyegitiga. Perbungaan simus berkelompok muncul di kedua ketiak daun, berwarna putih, dan sangat dekoratif. Pada umumnya bunga kopi tahan hanya sampai dua hari. Selain itu, setiap buku memiliki jumlah bunga 10-30 bunga (kopi arabika) dan 80 bunga (kopi robusta). Kelopak berbentuk tabung dengan 4-5(-8) cuping, mahkota bunga bentuk tabung dengan 4-8 cuping; benang sari melekat pada leher tabung mahkota, bebas; bakal buah terbenam dengan 2 ruang masing-masing 1 bakal biji; tangkai putik membenang; kepala putik bercabang dua. Buah pelok dengan kulit buah (eksokarp) berwarna merah sampai hitam ketika matang, biasanya daging buahnya (mesokarp) berair dan endokarp bertanduk dan biasanya terdiri dari dua batu, sisi pertama cekung dan sisi yang satunya datar dengan garis alur yang panjang dan ditutupi oleh lapisan seperti kertas tipis yang harus dihilangkan sebelum dimasak. Buah kopi robusta lebih kecil (8-16mm) dibandingkan dengan kopi arabika (12-18 mm x 8-15 mm). Pada umunya kopi robusta lebih mudah tumbuh daripada kopi arabika dan lebih banyak memiliki variasi morfologi.
Diantara perangsang yang non alkohol, kopi menduduki peringkat pertama. Senyawa kafein dan senyawa volatile lainnya memberikan rangsangan pada otak yang akan membuat kita tidak bisa tidur, sehingga kopi memiliki nilai guna yang sangat tinggi untuk orang yang keracunan obat bius; dalam kasus seperti ini biasanya kopi dimasukkan ke dalam rektum. Selain itu, berguna untuk orang yang kena gigitan ular membantu mencegah terjadinya koma. Di  Sumatra tengah dan barat masyarakat lebih menyukai daun kopi untuk membuat minuman dari pada buahnya karena daun lebih banyak mengandung minyak volatile dan kafein. Di Asia Tenggara, kopi dan ampasnya digunakan obat tradisional untuk mengurangi sakit perut dan mencret, menaikkan tekanan darah dan diuretik serta penangkal racun. Kopi juga sering digunakan sebagai pewarna atau pewangi makanan. Di Jawa kopi sering digunakan untuk pengawet mayat agar tidak menimbulkan bau busuk. Selain itu, kayu dan ampas kopi juga dapat digunakan sebagai pupuk (Vossen dkk., 2000 dan Sosef, 2000).
Perbanyakan kopi dapat dilakukan dengan biji atau dengan okulasi atau stek batang. Kopi arabika satu-satunya kopi yang polyploid dan terjadi pembuahan alami, sedangkan pada kopi robusta  tidak terjadi pembuahan alami karena adanya mekanisme self-incompatible, sehingga dilakukan perkawin silang (Ferwerda, 1976 dan Vossen dkk., 2000). Kopi tidak memiliki masa dormansi. Pada suhu ruangan biji kopi hanya tahan 3-6 bulan. Apabila disimpan pada suhu 15oC akan tahan 15 bulan (kopi robusta) dan 30 bulan (kopi arabika). Perkecambahan kopi terjadi 6-8 minggu setelah semai. Kotiledon dan sepasang daun pertama muncul setelah berumur semai 10-12 minggu. Setelah 7-9 bulan setelah semai (kopi robusta) dan 11-15 bulan setelah semai (kopi arabika) mencapai tinggi 30-40 cm maka anakan kopi siap untuk ditanam di lapangan. Pertumbuhan kopi sangat cepat pada awal musim hujan serta panjang hari akan mempengaruhi perkembangan bunga. Kopi arabika merupakan tumbuhan berumah satu dan terjadi polinasi alami (kurang dari 10%) serta probabilitas untuk mendapatkan buah sangat tinggi. Buah matang dalam 8-9 bulan (kopi arabika) dan 9-11 bulan (kopi robusta ).
Kopi nangka-C. liberiana adalah jenis kopi lain yang memiliki rasa lebih pahit dan tidak sepopuler kopi arabika. Kopi ini dinikmati hanya oleh kelompok tertentu di daerah sebelah selatan Peninsular Malaya dan Sabah serta Afrika. Biasanya kopi ini diminum dengan gula yang banyak dan ditambahkan susu untuk menambah cita rasa. Kopi ini dapat dicampur dengan kopi lainnya atau dicampur dengan minuman lain untuk menambah rasa. Kopi nangka sendiri merupakan tanaman asli dari daerah tropis Afrika bagian barat dan tengah. Pada tahun 70-an kopi ini tidak banyak dibudidaya tetapi sekarang ini budidaya sudah menyebar terutama di Guyana, Surinam, Bioko (Fernando Po), Sao Tomé, Liberia, Malaysia dan Filipina, Sierra Leone, Ivory Coast, Nigeria, Congo (Brazzaville), Mauritus, Sri Langka, India, Thailand, Vietnam, Taiwan, dan Timor. Di Indonesia sendiri sempat dibudidaya secara intensive tetapi tergantikan ketika ada jenis kopi robusta yang lebih tahan terhadap penyakit daun (Sosef, 2000).
Kopi nangka merupakan pohon dengan tinggi 20 m; cabangnya tidak berambut. Daun berhadapan dengan stipula interpetiolar berbentuk segitiga-membundar telur hampir rompong. Pada dasar urat daun lateral terdapat domatia. Perbungaan pada ketiak dan  berkelompok  berjumlah 4-30(-50) per ketiak. Buah batu dengan ukuran 1,2-2,2 cm x 0,9-1,6 cm, berwarna merah atau kuning dengan bercak merah atau seluruhnya kuning.
Kopi nangka dapat tumbuh di hutan pamah sampai hutan hujan pegunungan bawah, hutan alam, tepi hutan dan bahkan daerah terbuka, mencapai 1300 m dpl. Di Malaysia dapat tumbuh sampai ketinggian 1200 m dpl, di Filipina 900 m dpl. Kopi ini dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian yang rendah, cuaca hangat dan lembab, ternaungi tetapi di Malaysia dapat tumbuh dibawah cahaya matahari langsung. Tidak tahan terhadap genangan air, tetapi dapat hidup di tanah yang miskin hara, dan asam. Di hutan pamah tropis kopi ini tumbuh dengan baik dibandingkan dengan kedua kopi di atas. C. leberiana kultiv.excelsa sangat teradapdasi pada lahan kering.
Sejumlah kultivar kopi yang dikenal  diantaranya:  Typica National, Bourbon, Mundo Novo, Caturra, Blue Mountain, Maragogipe, sL 28, N 39, Kent, Padang, dan Blawan Pasumah. Beberapa kultivar berasal dari hibrid interspesifik misalnya BA, Hibrido de Timor, Geisha, Abyssinia dan Rume Sudan. Catimor (Caturra x Hibrido de Timor) paling tahan terhadap penyakit daun, Icatu ( C. arabica x C. canephora) x C. arabica juga tahan terhadap penyakit daun. Beberapa kultivar robusta diantaranya BP dan  SA dari Jawa, S274 dan BR dari India, INEAC dari Kongo, dan IRCC dari Pantai Ivory. Hibrid interspesifik seperti Congusta dar Jawa dan C X R kultivar dari India (C.congensis x C. canephora) dan Arabusta ( C. arabica x C. canephora) juga berpotensi untuk tumbuh di ketinggian sedang sampai rendah. Sampai saat ini studi untuk mencari kopi bibit unggul terus dilakukan.
Studi sistematik kopi masih sangat sedikit. Monograph terakhir ada sebelum perang dunia kedua. Studi evolusi dengan menggunakan pollen (Moens, 1962; Lobreau-Callen & Leroy, 1980), studi molekular dengan kloroplast dan DNA mitokondria (Berthou dkk., 1983), fitokimia (Clifford dkk., 1989; Anthony dkk., 1993) dan DNA inti (Cros dkk., 1995). Hasil studi molekular dari kloroplas atau DNA dari beberapa jenis kopi menyatakan bahwa semua jenis kopi adalah monofiletik. Hal ini terjadi karena proses diferensiasi dari kelompok-kelompok kopi yang saling berhubungan tersebut, bersamaan dengan daerah Afrika yang belum berkembang menjadi pemisah genetik yang cukup kuat.
Kelompok tumbuhan lain yang tergolong dalam suku yang sama Rubiaceae adalah Ixora yang umumnya dibudidayakan sebagai tanaman hias. Secara umum, orang Indonesia menyebut Ixora dengan nama “soka”. Masyarakat Sunda menyebutnya “ki soka”, sedangkan masyarakat Jawa menyebutnya dengan nama “areng-arengan”. Ixora beranggotakan  ± 400 jenis dan tersebar di seluruh daerah tropik. Kawasan Indo – Malesia merupakan kawasan yang memiliki jumlah jenis terbanyak. Di Malesia terdapat sekitar 160 jenis. Jumlah jenis terbanyak yaitu sekitar 65 jenis terdapat di Borneo dan kebanyakan dari jenis – jenis tersebut adalah endemik.
       Jenis Ixora yang banyak ditanam orang adalah  Ixora chinensis Lamk dan Ixora javanica (Blume) DC.  I. chinensis mempunyai perawakan yang lebih pendek dengan ukuran daun yang lebih kecil bila dibandingkan dengan I. javanica. Mahkota bunga I. chinensis berwarna oranye-merah atau putih sedangkan I. javanica selain berwarna oranye merah, ada juga yang berwarna merah muda atau kuning.
       Ixora chinensis Lamk. – Orang  Indonesia menyebutnya dengan nama “kembang soka”, ada juga yang menyebutnya “siantan”. Tumbuhan ini tersebar di daerah Burma bagian selatan (Myanmar), Vietnam, Semenanjung Malaysia, Borneo dan ditanam di Jawa, Filipina dan tempat – tempat yang lain.
Tumbuhan ini berupa semak dengan banyak batang, tinggi 2 m; daun bulat telur terbalik – memanjang, 6 – 10 cm x 2,5 – 5 cm, menjangat, pangkal membulat, menjantung atau kadang tumpul, ujung tumpul, tangkai daun pendek, stipula berjanggut panjang; cabang perbungaan berhadapan, berwarna merah; bunga dengan panjang tabung mahkota 3 – 3,5 cm, cuping membundar hingga bulat telur terbalik, membundar pada ujungnya, 6 mm x 6 mm, berwarna oranye – merah atau putih (khusus untuk jenis yang ditanam), tidak berbau harum; buah membulat berwarna hitam. I. chinensis dilaporkan umum terdapat di sepanjang aliran sungai di Semenanjung Malaysia.
Akar I. chinensis mengandung turunan iridoid yaitu ixoside (1,8-dehydroxyforsythide). Di Malaysia, cairan yang diperoleh dari rebusan akar I. chinensis digunakan setelah melahirkan. Di Filipina, seduhan dari bunga yang segar, dikatakan dapat melawan tuberkulosis dan wasir. Seduhan daun digunakan untuk obat sakit kepala. Di Indonesia, cairan yang diperoleh dari rebusan akar, digunakan untuk menyembuhkan penyakit bronkus, sedangkan cairan yang diperoleh dari rebusan bunga digunakan untuk melawan penyakit amenorrhoea dan tekanan darah tinggi. I. chinensis secara luas dibudidayakan sebagai tanaman hias.
Adapula jenis Ixora javanica (Blume) DC. – yang mempunyai nama umum “Ixora Jawa”. Tumbuhan ini tersebar di daerah Burma (Myanmar) bagian selatan, Thailand, Semenanjung Malaysia, Sumatra, Jawa dan Borneo.
Seperti  I. chinensis, I. javanica juga berupa semak, tetapi tinggi dapat mencapai 3 – 5 m; daun ellips, melonjong hingga bulat telur melonjong, berukuran 7,5 – 17 cm x 2,5 – 7 cm, menerna, pangkal runcing, ujung meruncing, dengan 9 – 10 tulang daun, panjang tangkai daun 3 – 6 mm; stipula berjanggut panjang; perbungaan renggang, berambut pendek, panjang tangkai bunga 1 – 4 cm; bunga dengan panjang tabung kelopak 0,2 mm, cuping bulat telur, panjang 0,4 mm, panjang tabung mahkota 2,5 – 3, 5 cm, cuping bulat telur, tumpul atau membulat, panjang 6 – 8 mm, berwarna oranye – merah, kadang – kadang merah muda atau kuning, tidak berbau harum; kepala sari berwarna oranye pucat, panjang tangkai sari 5 mm; buah berukuran sebesar pea.
I. javanica umum terdapat di hutan bertanah subur di Jawa. Belum ada laporan mengenai kegunaan tumbuhan ini dalam dunia pengobatan, tetapi ekstrak tumbuhan tersebut menunjukkan aktivitas anti tumor. Senyawa yang bertanggung jawab dalam mempengaruhi pertumbuhan tumor tersebut, diidentifikasi sebagai asam ferulic ( asam 4-hydroxy-3-methoxyinnamic) dan isomernya yaitu asam 3- hydroxy-4-methoxyinnamic.  I. javanica banyak ditanam sebagai tanaman hias.
       Jenis Ixora di Malesia, secara umum hijau sepanjang tahun, berupa semak atau pohon, berukuran kecil hingga terkadang berukuran besar, tinggi mencapai 25 m; kulit kayu halus, berlentisel, bercelah atau bersisik, berwarna coklat keabuan. Daun berhadapan atau terkadang dalam lingkaran 3, sederhana, rata, berbentuk ellips hingga menggaris, menerna hingga menjangat, pangkal biasanya mengerucut atau membaji, ujung membulat; stipula mengerucut pada pangkalnya, menjantung atau dengan duri panjang. Perbungaan dalam bentuk malai korimbosa atau korimbosa terminal, berkelipatan 4, tangkai bunga pendek dengan perbungaan yang tegak, satu perbungaan biasanya terdiri atas 45-300 bunga. Bunga biasanya berkelompok 3, biseksual, berkelipatan 4, berbau harum atau tidak, protandri; kelopak terbagi hingga pangkal; mahkota dengan tabung silindris, cuping terpilin dalam tunas, biasanya berwarna putih tetapi kadang – kadang berwarna merah muda, kuning atau merah. Benang sari tersisip pada kerongkongan mahkota dengan tangkai yang pendek, kepala sari dorsifixed, memata panah atau terkeluk batik (reflexed); bakal buah inferior, 2(-3) rongga dengan 1 bakal biji tiap ruang, tangkai berbentuk benang, menjulur dari tabung mahkota, bagian yang menjulur tidak lebih panjang dari cuping mahkota; kepala putik bercuping 2, cuping memita dan mengerucut terbalik. Buah membulat hingga pelok bercuping 2, diameter 5 – 15 mm, buah yang masak berwarna merah kemudian berubah menjadi hitam, dengan 1 – 2 pyrene; pyrene terdiri atas 1 biji, berdinding tipis, plano – conveks. Biji dengan selaput biji yang tipis, seluruhnya endosperma. Perkecambahan secara epigeal; kotiledon berdaun , berwarna hijau.
Jenis Ixora biasanya hidup pada dataran rendah dan hutan pegunungan rendah hingga ketinggian 1700 m alt. Beberapa jenis juga ditemukan di lokasi berlumpur, di sungai atau terkadang juga di sawah (misalnya I. grandifolia Zoll. & Moritzi.)
       Beberapa Ixora digunakan dalam pengobatan tradisional, misalnya sebagai obat untuk menghentikan pendarahan dan juga untuk mengobati penyakit disentri serta tuberkulosis. Beberapa jenis (misalnya I. coccinea L.) memperlihatkan aktivitas antitumor dan anti mutagenik. Buah I. phillipinensis Merr. enak dimakan. Selain itu, kayu Ixora kadang digunakan untuk pembuatan tongkat jalan dan juga untuk tiang rumah. Beberapa jenis Ixora dikenal sebagai tanaman hias (sebagai contoh I. chinensis Lamk., I. coccinea L., I. javanica (Blume) DC.) yang sering ditanam di kebun, taman dan sepanjang sisi jalan.
Perbanyakan Ixora dilakukan dengan biji, meskipun untuk jenis – jenis yang digunakan sebagai tanaman hias, perbanyakan dilakukan dengan stek.
       Perbungaan Ixora adalah musiman tetapi untuk jenis – jenis Ixora yang dibudidayakan, dapat berbunga sepanjang tahun. Penyerbukan dilakukan oleh rama – rama atau kupu - kupu yang menghisap madu pada pangkal mahkota bunga. Selain itu, kumbang juga mengunjungi Ixora terutama yang mempunyai bunga berwarna kemerahan. Biji disebarkan oleh burung – burung pemakan buah.
           
Rubiaceae mencakup tumbuh – tumbuhan berupa herba, terna, pohon dan terkadang juga tumbuhan memanjat. Daun berhadapan, stipula interpetiolar. Bunga biseksual, teratur, berkelipatan 4 – 5, dalam malai sederhana atau tidak. Tabung mahkota panjang atau pendek, bercuping 4 hingga 5. Benangsari sebanyak cuping mahkota Bakal buah inferior, 2(-3) rongga dengan 1 bakal biji tiap ruang. Buah kapsul (Tribus Cinchoninae), baka (Tribus Gardeniinae) atau pelok (Tribus Guttardinae dan Tribus Psychotriinae). Embrio besar, kaya endosperma.
       Rubiaceae merupakan suku tumbuhan yang sangat besar, terdiri atas 400 marga, baik di daerah subtropik maupun tropik. Hampir 70 marga merupakan tumbuhan asli Malaya.

CORE ASTERID
EUASTERID I
lAMIALES
Gesneriaceae
Abdulrokhman Kartonegoro (Herbarium Bogoriense, Puslit Biologi – LIPI)
African Violet – Saintpaulia ionantha Wall. cukup dikenal oleh para peminat tanaman hias di Indonesia. Tumbuhan herba ini sangat indah dan bagus sebagai tanaman hias dengan bunganya yang beraneka warna mulai dari biru keunguan sampai merah muda keputihan. Tumbuhan ini sebenarnya berasal dari Afrika Timur namun sudah diintroduksi cukup lama di Indonesia. Umumnya banyak orang menanam dalam pot-pot rumahan. Sama halnya dengan Gloxinia – Siningia speciosa (Lodd.) Hiem. yang juga tanaman introduksi dan banyak dimanfaatkan sebagai tanaman hias. Berbeda dengan Saintpaulia ionantha, Siningia speciosa merupakan tumbuhan asli dari Amerika dan khas sebagai tumbuhan subtropis. Siningia speciosa memiliki bunga yang berwarna merah, ungu atau putih. Keduanya saat ini banyak ditemui dalam bentuk-bentuk hibrid yang diperjualbelikan.
       Saintpaulia ionantha dan Siningia speciosa adalah dua jenis tumbuhan yang berperawakan herba yang sangat unik. Keduanya memiliki susunan daun yang berhadapan, namun Saintpaulia ionantha mempunyai susunan roset sedangkan Siningia speciosa tidak. Umumnya daun keduanya tebal dan berbulu-bulu halus baik panjang maupun pendek dengan tepi yang agak bergerigi. Sama halnya dengan helaian daun, tangkainyapun memiliki bulu-bulu halus. Perbungaan soliter atau dalam karangan yang tumbuh di ketiak daun. Bunga-bunga yang indah itu memiliki kelopak berlekatan dengan ujung meruncing. Mahkota bunga yang berwarna berbilangan 5-6 yang berbentuk lonceng atau tabung yang setangkup, namun Siningia speciosa tampak agak simetri. Bunga setangkup yang berbentuk lonceng atau tabung ini tampak jelas berbibir dan sangat mudah dikenali. Benang sari biasanya berjumlah 4-5 atau sama dengan jumlah bilangan mahkotanya, dengan ukuran tangkai sari yang tidak sama besar. Benang sari ini menempel pada tabung mahkota dan juga beberapa ada yang steril dalam bentuk staminodium.
       Kedua jenis tersebut sangat umum pada beberapa daerah di Asia Tenggara sebagai tanaman hias rumahan. Tingginya permintaan para peminat tumbuhan hias mulai memasyarakatkan tumbuhan tersebut. Keduanya sangat mudah dicirikan karena memiliki warna dan bentuk yang khas sehingga mudah dikenali. Namun pada beberapa waktu lalu untuk Siningia speciosa dikenal sebagai marga Gloxinia, padahal nama Gloxinia saat ini digunakan sebagai nama jual Siningia speciosa. Kajian taksonomis untuk permasalahan ini belum pernah dilakukan.
       Selain kedua jenis tanaman hias di atas, juga dikenal tumbuhan hutan berbentuk perdu Cyrtandra pendula Blume. Tumbuhan ini banyak tumbuh dibeberapa pegunungan di  Jawa Barat. Beberpapa masyarakat lokal banyak menggunankan daunnya sebagai penyedap rasa makanan. Tumbuhan ini memiliki susunan daun berhadapan yang mengumpul di ujung batang dan umumnya tidak sama besar pada tiap pasangannya. Batangnya persegi dan berbulu. Perbungaannya pada ketiak daun pada pasangan daun yang sama. Sama halnya dengan tanaman hias sebelumnya, bunganya setangkup, bentuk lonceng dengan mahkota yang berwarna putih, melebar pada ujungnya serta berbulu lebat. Benangs sari 4-5 dengan 2 yang fertil serta 2-3 staminodia, menempel pada mahkota. Umumnya tumbuh dalam bentuk perdu yang merambat di hutan-hutan basah pada ketinggian 350-650 mdpl. Selain itu, kerabatnya Cyrtandra picta Blume juga hamper memiliki perawakan yang sangat mirip, hanya saja jenis ini memiliki mahkota bunga yang berwarna putih atau merah muda dengan bercak-bercak ungu. Susunan daun C. picta tidak mengumpul di ujung batang dan sama besar. Bentuk perawakannya juga merambat atau kadang-kadang tegak. Jenis ini sangat luas persebarannya dibandingkan C. pendula karena mencakup Jawa, Sumatra dan Sulawesi dengan wilayah ketinggian 320-2400 mdpl dan sangat umum di hutan-hutan pegunungan. Persebaran yang luas pada C. picta memungkinkan tingginya variasi bentuk morfologi dan dipisahkan pada dua varietas yaitu C. picta var. picta serta C. picta var. repens (de Vriese) Bakh. f..
      
Gesneriaceae mewadahi tetumbuhan yang berbentuk herba, terna, pohon kecil dan pemanjat; terrestrial atau epifitik. Susunan daun umumnya berhadapan, jarang yang berseling, beberapa jenis roset atau mengumpul pada ujung batang. Tiap pasangan daun ada yang sama besar dan ada yang tidak sama besar. Daun dengan ujung meruncing, tepi rata sampai bergerigi dan pangkal tumpul atau menjantung. Helaian daun umumnya tebal dan memiliki bulu-bulu yang halus. Daun bertangkai dan tanpa daun penumpu. Bunga soliter atau dalam karangan, mencolok, banci, setangkup. Letak bunga dapat di ketiak daun atau di ujung daun.  Bentuk bunga tabung, lonceng atau seperti terompet. Kelopak berkelipatan 5 dan berlekatan, mahkota berkelipatan 5-6, berbibir, berwarna. Benang sari 4-6, kadang melekat pada mahkota, separuh panjang dan separuh lagi pendek. Pada beberapa jenis separuh benang sari steril menjadi staminodia. Bakal buah menumpang atau sebagian tenggelam dengan 2 daun buah, 1 lokul dengan plasentasi parietal. Buah kapsul atau buni dengan biji tak terhingga.

Bagi sebagian orang yang sering berjalan-jalan di hutan-hutan pegunungan seperti Cibodas akan sering menjumpai salah satu jenis tumbuhan pemanjat atau epifit dengan bunga berwarna merah mecolok. Umumnya bunga merah ini menjulur ke atas seperti saksofon atau tabung pada ujung batang serta ketiak daun. Tumbuhan ini memanjat jelas pada pohon-pohon besar dan pertumbuhannya sangat berlimpah pada hutan yang masih bagus. Tumbuhan ini adalah Aeschynanthus radicans Jack yang banyak terdapat di hutan-hutan pegunungan di Jawa dan Sumatra. Daun pada jenis ini tumbuh berhadapan, sama besar dan membundar telur serta tebal. Kelopak bunganya berlekatan dan menutupi tabung mahkota hampir separuhnya. Benang sari berjumlah 4 dengan 2 panjang dan 2 pendek, menjulur panjang keluar tabung mahkota. Jenis ini sangat bervariasi dalam hal morfologi karena luas persebarannya. Jenis lain yang sangat dekat kekerabatannya adalah A. pulcher (Blume) G.Don, namun dalam beberapa studi terakhir jenis ini dimasukan dalam varietas A. radicans karena perbedaannya hanya merupakan variasi morfologi dalam jenis. Masyarakat lokal biasa menggunakan tumbuhan ini sebagai obat sakit kepala dimana daunnya dibalurkan pada kening.
Gesneriaceae termasuk suku tumbuhan dikotil yang relative besar dan mewadahi sekitar 150-160 marga dengan jumlah jenis sekitar 3200 atau lebih. Cyrtandra adalah marga dengan jumlah jenis terbesar. Persebaran suku ini sangat luas mencakup wilayah pantropik maupun beberapa daerah subtropik. Daerah persebaran subtropik meliputi Eropa, Himalaya, Cina dan Australia bagian selatan. Sangat umum banyak ditemukan di daerah hutan-hutan pegunungan yang lebat sebagai herba kecil, terna atau pemanjat. Wilayah Asia Tenggara merupakan daerah yang cukup tinggi akan suku ini. Secara keseluruhan suku ini sangat mudah dikenali melalui ciri-ciri tumbuhan herba atau pemanjat yang memiliki daun tebal berhadapan. Bunganya berbentuk lonceng atau tabung, setangkup dan kelopaknya berlekatan. Bentuk  benang sari yang separuh panjang dan separuh pendek juga dapat digunakan sebagai pengenal. Umumnya baik daun maupun bunga berbulu halus, terutama bagian daunnya. Bentuk bunga tabung atau lonceng serta mahkota yang berbibir memasukan suku ini pada ordo Tubiflorae atau Lamiales. Beberapa suku lain yang agak mirip dengan Gesneriaceae adalah Bignoniaceae, Acanthaceae dan Scrophulariaceae. Nilai ekonomis yang sangat jelas adalah sebagai tanaman hias di berbagai tempat.

CORE ASTERID
EUASTERID I LAMIALES
MENTOL-MENTOLAN (LAMIACEAE/LABIATAE)
Sudarmono (Pusat Konservasi Tumbuhan-Kebun Raya Bogor, LIPI)
Yulianty (Universitas Lampung)
Kumis kucing (Orthosiphon spicatus) yang mempunyai banyak nama seperti O. aristatus (BL.) Miq.; O. gramineus Bold; O. stamineus Benth.; O. longiflorum Ham.; O. grandiflorum et. aristatum BL. O. spiralis Merr. dll. Kumis kucing merupakan suatu tumbuhan terna dan berbatang tegak. Dikenal dengan berbagai istilah seperti : kidney tea plants/java tea (Inggris), giri-giri marah (Sumatera), remujung (Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan se-salaseyan; songkot koceng (Madura). Tanaman ini berasal dari wilayah Afrika Tropis kemudian menyebar ke wilayah Asia dan Australia. Untuk membedakan kumis kucing dengan marga lainnya dari suku Labiatae dapat dilihat dari tangkai putiknya yang ginobasis yang dapat mencapai bakal buah atau adanya stamen yang letaknya menurun (descending). Ciri ini terdapat juga pada marga Ocimum (kemangi). Sedang pada marga Mentha, Leucas dll, stamen letaknya menaik (ascending).
Daun kumis kucing dapat digunakan untuk melancarkan air seni. Untuk dimanfaatkan sebagai obat, sebaiknya daun kumis kucing dapat dicampur dengan daun atau bahan-bahan yang lain agar daya kerjanya dapat ditingkatkan. Daun kumis kucing dapat ditambah dengan daun meniran (Phyllanthus niruri).
Daun kumis kucing basah maupun kering digunakan sebagai bahan obat-obatan. Di Indonesia daun yang kering dipakai sebagai obat yang memperlancar pengeluaran air kemih (diuretik), sedangkan di India untuk mengobati reumatik. Masyarakat menggunakan kumis kucing sebagai obat tradisional sebagai upaya penyembuhan batuk, encok, masuk angin dan sembelit. Daun tanaman ini juga bermanfaat untuk mengobati radang ginjal, kencing manis, albuminuria, dan penyakit syphilis. Deskripsi dari tanaman ini merupakan tanaman terna yang tumbuh tegak, tinggi dapat mencapai 2 m. Batang dan cabang bersegi empat dan beralur. Helai daun bulat telur, lanset, dengan ujung daun lancip atau tumpul. Panjang daun 1-10 cm, dan lebar 7,5 mm – 1,5 cm. Permukaan daun berbintik-bintik karena ada kelenjar minyak atsiri. Bunga berupa tandan yang keluar di ujung cabang, warna ungu atau ungu keputihan. Kelopak bunga berkelenjar, bersatu membentuk tabung, 5 lobus, kadang-kadang berbibir dua, umumnya persisten; mahkota bunga bersatu membentuk tabung, 5 lobus sangant zigomorf, berbibir dua. Stamen 4 didinamus. Ovarium superus, 2 karpel yang terbagi menjadi 4 lobus ovarium yang bisa lepas dan hanya disatukan oleh stilus yang ginobasis atau 4 lobus dengan stilus tidak sampai ginobasis, ovule (bakal biji) 1 tiap lobus ovarium.
Labiate ada yang memasukkannya ke dalam bangsa Tubiflorae. Dimasukkannya suku ini didasarkan pada perhiasan bunga yang bersatu membentuk tabung, aktinomorf, kalik dan korola yang berbilangan lima, stamen berbilangan lima, bakal buah menumpang. Namun demikian pada suku Labiatae/Lamiaceae cenderung memiliki ciri yang banyak berbeda dengan suku-suku yang masuk ke dalam bangsa Tubiflorae sehingga suku ini dikeluarkan dari bangsa Tubiflorae. Kecenderungan pada suku Labiatae ini mempunyai perkembangan dari kalik dan korola (perhiasan bunga) yang bersifat zygomorf, pengurangan stamen dari 5 menjadi 4 atau 2. Reduksi dari jumlah bakal biji dalam ruang bakal buah, sehingga bakal buah terbagi dalam 4 bagian yang masing-masing dengan 1 bakal biji tiap lobus atau ruang bakal buah.
Dari asal kata Labiatae, yang artinya berbibir menunjukkan simetri pada bunga. Tajuk bunga (mahkota bunga atau corolla) yang zigomorf, yaitu hanya dapat dibuat satu bidang simetri saja yang membagi bunga tadi menjadi dua bagian yang setangkup sehingga tepinya merupakan dua bibir.
Ciri lain yang termasuk dalam suku Labiatae yaitu termasuk dalam bunga majemuk gubahan semu atau karangan semu (Verticillaster), jika pada bunga ini tampak ibu tangkainya berbuku-buku dan pada buku-bukunya terdapat sejumlah bunga yang tersusun berkarang (melingkari buku-buku tadi). Tetapi sesungguhnya pada ibu tangkai yang sama tinggi ada beberapa cabang yang masing-masing cabang itu merupakan suatu anak payung. Selain itu, pada suku Labiatae terdapat benang sari panjang dua (didinamus) artinya pada bunga yang mempunyai 4 benang sari, terdapat 2 yang panjang dan dua lainnya pendek.
Mentol-mentolan termasuk suku tumbuhan yang besar yang terdiri kira-kira 200 marga. Ciri khas dari tanaman kumis kucing adalah adanya batang yang bersegi empat, dengan perhiasan bunga berbibir. Jenis kumis kucing mempunyai ciri yang sama dengan Ocimum basilicium (kemangi). Kedua jenis tumbuhan tersebut mempunyai stamen yang letaknya menurun dan stilus atau tangkai putik letaknya lebih dalam bahkan mencapai dasar dari ginaesium. Sifat-sifat tersebut tidak dimiliki oleh marga Cymaria, Acrymia. Untuk mengidentifikasi keluarga Mentol-mentolan atau dikenal dengan bahasa Latin Labiatae atau Lamiaceae, maka perlu melihat ciri khas pada bunganya berbibir (labium), daun berhadapan, batangnya yang berbentuk segiempat. Namun dari batang tersebut juga dimiliki oleh kerabat dekat familinya yaitu Verbenaceae (Keluarga Tembelek-tembelekan). Perbedaanya terletak pada bunganya dimana pada Keluarga Mentol-mentolan ini mempunyai struktur bunga simetri dua arah dan terdapat lembar mahkota (bibir) atas dan bawah. Pada bunga keluarga Tembelekan cenderung berbunga simetri ke segala arah.
Scutellaria berasal dari bahasa Latin Scutell atau perisai. Ciri-cirinya bunga berbentuk seperti perisai dan pada bagian atas kelopak bunga terdapat braktea atau daun pelindung. Di Indonesia, Scutellaria diperkirakan hanya ada 3 jenis (Steenis, 1978), yaitu S. discolor, S. indica dan S. javanica.
Scutellaria discolor berbeda dengan jenis Scutellaria lain seperti S. indica dan S. javanica yaitu bunga umumnya majemuk 3 jarang 2 atau 4 bunga. S. indica berbunga biasanya 2 namun panjang kelopaknya 1-1,5 mm. Pada S. javanica meskipun berbunga 2 namun panjang kelopaknya 3-4 mm.
Nama daerah berbeda-beda seperti; jawer kotok, kipahit, beungbeureuman tangkal, daun kukuran, tjawir kotok hutan (Jawa Barat); nilam bukit, toma (Madura); amperu lemah, jarongan lampesan (Jakarta); daun kukur, hutan alosu, majana kusu (Maluku). Kegunaannya yaitu untuk mengobati sakit pinggang (Heyne, 1987).
Scutellaria discolor mempunyai 2 varitas yaitu var. discolor dan var. cyrtopoda. Scutellaria discolor varitas discolor mempunyai ciri-cirinya; herba kecil, biasanya 20-50 (-100) cm. Batang berambut panjang (hirsute), jarang bercabang. Daun menyelaput, menyilang elip sampai membundar jarang bundar, 4-6 (-11) cm pjg dan 2,5-5 (-10) cm lbr, kadang-kadang lebih kecil, tumpul atau membundar, bagian dasar seringnya membundar sampai berbentuk jantung, tepinya beringgit, gundul atau jarang berbulu balig pada permukaan keduanya, tangkai daun 1-2 (atau lebih) cm berambut panjang. Bunga pada ujung perbungaan sederhana mirip tandan 10-15 cm pjg; 3 (kdg-2 2 atau 4) bunga agak terpusar tersusun pada pusaran yang bukan satu bidang. Warna mahkota biru, biru pucat, ungu muda dan ungu tua.
Varitas discolor ini tersebar luas di kepulauan Asia Tenggara (dari Deccan ke Assam, Nepal, Birma, Thailan, Indo-China, dan China Barat Daya; Yunnana); di Malesia: Semenanjung Malaya, Jawa, P. Bawean, P. Selat Sunda (Kangean, Lombok, Flores, Sumba, Sumbawa, Alor, Wetar, Timor), Maluku (Seram, Ambon), dan New Guinea.
Tumbuh pada ketinggian 500-3200 m di sepanjang lahan rumput, teduh dan tempat lembab pada hutan basah, jalan setapak hutan, batuan basah pada jurang, di Sumbawa pada hutan dipterokarp dataran rendah, di hutan Ek, di Timor pada batuan kapur hutan Podokarpus; dari dataran rendah sampai sekitar 2400 m dpl pada ketinggian rendah di pulau-2 kecil maupun besar. Berbunga pada bulan Januari sampai Desember.
Scutellaria discolor varitas cyrtopoda termasuk salah satu tumbuhan endemik di P. Jawa yaitu terdapat di G. Malabar sampai G. Jang. Tumbuh pada ketinggian 1600-3200 m dpl. Tumbuhan ini mempunyai ciri-ciri batangnya berambut kelenjar padat, daunnya merontal, bundar dan bundar lebar dengan kisaran panjang dan lebar 3,5-5 dan 2-4 cm. Varitas ini berbunga pada bulan Januari sampai Desember.
EUASTERID II
APIALES
APIACEAE
Agung Sedayu (Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Jakarta)
Seledri (Apium graveolens L.) merupakan tumbuhan terna (herba) dua-tahunan (biennial), tegak, bercabang berulang, gundul, dengan tinggi 25—90 cm, dengan akar tunggang berbentuk menggelondong atau mengumbi. Batang membuluh, menyudut, beralur jelas, dan merusuk memanjang. Daun meroset saat muda, dengan tangkai yang panjang, majemuk menyirip atau berdaun tiga, daun lebar dengan pangkal yang membaji, bercuping-tiga hingga berbagi-tiga, bertangkai anak. Perbungaan payungan dengan banyak bunga majemuk, duduk atau atau dengan tangkai yang pendek, terminal atau berhadapan daun; tangkai anak utama dengan jumlah 5—15, sepanjang 1-3 cm; tidak ada daun pembalut; payungan dengan 6—25 bunga; bunga hermaprodit, berkelipatan-5, putih atau putih kehijauan; tangkai anak sekunder dengan panjang 2—3 mm, tanpa cuping kelopak; mahkota berdiameter 0,5 mm. Buah skizokarp, pecah menjadi 2 mericarp, masing-masing dengan panjang 1,5 mm dengan 5 rusuk berwarna cerah.
Seledri adalah tumbuhan biennial yang berasal dari daerah sedang, namun ditanam secara semusim (1 tahun) untuk daunnya. Siklus hidupnya dapat selesai dalam waktu setahun jika dalam pertumbuhannya terekspos pada suhu rendah. Karena berasal dari daerah beriklim sedang, di Indonesia tumbuhan ini biasa ditanam di tempat-tempat berhawa sejuk.
Bentuk liar seledri sebenarnya adalah tumbuhan rawa halofil. Asal usul ini menjelaskan mengapa pada jenis-jenis yang dibudidayakan membutuhkan banyak air dan dapat hidup pada tanah bergaram.
Sejarah budidaya seledri merupakan sejarah peradaban manusia yang unik. Jenis ini secara paralel dikembangkan oleh dua kebudayaan yang sama sekali tidak berhubungan. Di barat seledri dibudidayakan di Eropa jauh sebelum masehi, pertama-tama sebagai tumbuhan obat, kemudian sebagai bumbu masak. Perkembangan selanjutnya adalah budidaya bentuk khusus yang memiliki tangkai daun yang besar dengan rasa yang lebih lemah dan cocok digunakan sebagai sayur (seledri tangkai = A. graveolens var. dulce). Bentuk ini pertama kali dikembangkan di Prancis dan Italia. Bentuk lain yang juga dikembangkan di Eropa adalah seledri dengan batang (umbi) yang menggembung (A. graveolens var. rapaceum). Batang yang sebenarnya berasal dari hipokotil, batang dan akar tunggang inilah yang dipanen, bukan daunnya. Di benua lain, di Cina, juga dikembangkan paling tidak sejak abad ke-6. Bentuk yang dikembangkan di Cina lebih mirip dengan seledri yang ada di Indonesia, yang dipanen terutama untuk daunnya (seledri daun = A. graveolens var. secalinum). Nama Indonesia untuk tumbuhan ini, seledri, menunjukkan bentuk yang umum terdapat di Indonesia paling mungkin berasal dari Eropa, sesuai dengan nama yang umum dipakai di Eropa (celery = Inggris). Sekarang ini seledri memiliki penyebaran hampir di seluruh dunia, di daerah sedang dan daerah tropis.
Di Indonesia seledri digunakan umumnya sebagai bumbu masak, tidak sebagai bahan utama sayuran. Sebagai bumbu, seledri digunakan segar atau dikeringkan terlebih dahulu. Di Eropa, seledri yang lebih diminati adalah dari varietas dulce, yang menghasilkan tangkai daun yang sangat besar, yang justru digunakan sebagai bahan utama sayur, bukan sekedar bumbu. Selain itu A. graveolens var. rapaceum biasa digunakan untuk sup atau salad. Di India, seledri dengan tipe yang khusus dikembangkan untuk memperoleh minyaknya yang berharga untuk industri parfum. Beberapa kebudayaan menggunakan seledri sebagai bahan pengobatan, terutama sebagai bahan diuretik, mengatasi demam berdarah, rematik dan peluruh haid (Susiarti & Siemonsma 1994).
Suku Apiaceae juga dikenal dengan nama Umbelliferae, dengan tumbuhan berupa terna (herba) hingga liana, atau pohon, biasanya aromatik. Ruas batang sering berongga; dilengkapi dengan saluran sekretori yang menghasilkan minyak ethereal dan resin, saponin triterpenoid, kumarin, poliasetilen falkarinon, monoterpen dan sesquiterpen; dengan senyawa umbelliferose (berupa trisakarida) sebagai produk karbohidrat cadangan. Daun berseling dan spiral, tunggal atau majemuk menyirip atau majemuk menjari, sering bercuping atau berbagi sangat dalam, tepi rata atau menggergaji, dengan venasi menyirip atau menjari; tangkai daun biasanya berupih; daun penumpu ada atau tidak. Perbungaan berbatas, membentuk payungan yang tersusun dalam payungan, tandan, bulir atau malai, kadang berupa bongkol, biasanya didukung oleh daun pembalut, terminal. Bunga dapat biseksual atau uniseksual, biasanya aktinomorfik, kecil. Mahkota biasanya 5, jelas, sangat tereduksi. Mahkota biasanya 5, kadang lebih, namun muncul dari sebuah cincin primordial, kadang jelas berlekatan, menyirap hingga mengatup. Benang sari 5, kadang banyak; tangkai sari jelas; serbuk sari biasanya trikolpat. Daun buah 2—5, kadang banyak, berlekatan; bakal buah tengelam, biasanya dengan plasentasi axilar; tangkai putik membengkak di pangkalnya dan membentuk kelenjar madu di atas bakal buah; kepala putik biasanya 2—5, kecil, mementol hingga rompang, atau memanjang.Buah pelok dengan 2—5 biji, atau skizokarp, segmen yang kering (merikarp) kadang menempel pada tangkai (karpofor), sering dengan kanal minyak memanjang; endosperma dengan asam petroselenik (Judd dkk. 2002).
Apiaceae tersebar hampir kosmopolitan dari daerah tropis hingga daerah sedang. Klasifikasi APG II mengelompokan Apiaceae dalam Apiales salah satu anggota clade core asterid. Apiaceae dalam sistem APG merupakan gabungan suku Apiaceae dan Araliaceae (termasuk Aralia, Schefflera, Dendropanax, Hedera, Panax, Tetrapanax), sehingga merupakan kelompok dari kurang lebih 460 marga dan 4250 jenis tumbuhan. Saudara terdekat Apiaceae adalah suku Pittosporaceae, dengan karakter sama-sama bersaluran minyak ethereal/resin, susunan akar sampingnya, adanya senyawa poliasetilen falkarinon, embrio kecil dan daun kecil mirip daun gagang di pangkal tunas (Judd dkk. 2002, APG 2003, Plunkett dkk. 1996).
Selain seledri, banyak marga dari suku Apiaceae yang umum terdapat di Indonesia dan akrab digunakan sebagai  sayuran dan bumbu masak, seperti Carum (caraway = jintan/jemuju), Coriandrum (ketumbar), Cuminum (cumin = jintan hitam), Daucus (wortel), Foeniculum (adas), Pastinaca (parsnip = semacam wortel), Petroselinum (parsley = peterseli), Anethum (dill),  atau Pimpinella (anise = adas manis). Seluruh jenis ini dibawa oleh orang Eropa. Beberapa marga merupakan tumbuhan yang memiliki potensi obat, seperti pegagan (Centella) merupakan yang potensial sebagai peluruh air seni (diuretik), anti kuman dan anti tekanan darah tinggi. Beberapa marga lainnya beracun, dan yang lainnya dimanfaatkan sebagai tumbuhan hias.

ASTERALES
Perlu diperbaiki dengan susuna penulisan yang distandarisasi
ASTER-ASTERAN (ASTERACEAE/COMPOSITAE)
Sri Sudarmiati Tj (Jurusan Biologi IPB)        
Asteraceae atau Compositae adalah suatu  suku tumbuhan yang jumlah jenisnya terbanyak di antara  tumbuhan berbunga (Angiospermae), mempunyai 1317 marga dan 21 000 jenis. Banyaknya jenis pada suku Asteraceae ini hanya tertandingi oleh Orchidaceae (795 marga, 17500 jenis) dan Leguminosae (657 marga, 16400 jenis). Mempunyai persebaran luas hampir terdapat diseluruh benua, kecuali benua Antartika..
Umumnya berhabitus herba, semak,  jarang yang berupa pohon atau tumbuhan memanjat. Satu-satunya jenis pohon dari suku Asteraceae yang ada di Indonesia adalah Vernonia arborea, lainnya berupa herba dan beberapa jenis berhabitus semak. Kadang-kadang mempunyai getah, getah bening atau getah latek, seperti susu. Mudah dikenali dari bentuk bunganya. Bunganya spesifik tidak ditemukan pada suku lain, selain Asteraceae. Bunganya bunga majemuk disebut bunga bongkol atau bunga cawan, dikenal sebagai head flower atau capitulum. Bagian terluar bunga ini terbungkus oleh suatu braktea,  daun pelindung  yang disebut sebagai phylary dan keseluruhan daun pelindung yang membungkusnya disebut sebagai daun pembalut atau involucre. Bunga Asteraceae dapat dikelompokkan dalam 2 kelompok besar yakni yang berbunga satu macam atau  homogamus hanya mempunyai satu macam bunga, yakni bunga uniseksual baik itu berupa hanya bunga betina saja, atau bunga jantan saja, juga dapat hanya mempunyai bunga biseksual saja.. Sedangkan bunga heterogamus mempunyai dua macam bunga baik bunga uniseksual (bunga betina)  maupun biseksual, juga dapat berupa bunga steril dan bunga biseksual. Ada dua macam tipe bunga, disebut sebagai bunga tepi atau bunga pita sering disebut sebagai bunga pinggir karena letaknya disepanjang tepi cawan bunga, bentuk mahkota seperti pita atau lidah  lidah.  Sedangkan bunga tabung terletak ditengah cawan bunga, kecil-kecil berbentuk tabung, biseksual dan dapat menghasilkan buah. Buahnya buah kurung atau buah longkah (achene), yaitu buah berbiji satu, tidak pecah, dinding buah tipis, berdampingan dengan kulit biji tapi tidak berlekatan. Ujung atasnya terdapat rambut-rambut yang disebut papus.

Jenis-jenis tumbuhan suku Asteraceae dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan antara lain, untuk obat, makanan, bahan pewarna, insektisida. Banyak jenis Asteraceae merupakan jenis-jenis tanaman hias penting atau dimanfaatkan untuk bunga potong. Jenis yang sangat popular untuk diambil minyaknya dari biji adalah bunga matahari (Helianthus annuus L.), bijinya mengandung protein tinggi dan sering dimanfaatkan untuk pembuatan kuaci.  Jenis yang daunnya dimanfaatkan untuk sayuran, misalnya Lactuca sativa atau daun selada, kenikir atau Cosmos caudatus, sintrong atau Crassocephalum crepidioides, dan daun andewi atau Chicorium endivia. Beberapa Asteraceae dapat menghasilkan polisakarida yang berupa fruktan dan inulin merupakan suatu fruktosa bukan pati (glukosa) pada umbinya, misalnya pada Dahlia dan Helianthus tuberosus. Fruktan dan inulin tersebut baik untuk penderita diabetes, karena penderita diabetes dapat mengkonsumsi fruktosa dibandingkan dengan glukosa. Bahan pewarna dapat diperoleh dari bunga Cosmos sulphureus untuk warna kuning dan Tithonia rotundifolia untuk warna kuning dan oranye.  Beberapa jenis yang berkasiat obat antara lain Sonchus arvensis daunnya untuk pengobatan batu ginjal dan akarnya untu obat batuk, asma dan bronchitis. Daun Porophyllum ruderale untuk obat sariawan dan kulit phon Vernonia arborea dikunyah untuk obat sariawan. Daun Ageratum conyzoides untuk obat luka dan menghentikan diare. Seluruh bagian tumbuhan Vernonia arborea dapat dipakai untuk obat diare. Blumea balsamifera dapat diekstrak untuk bahan camphor. Ageratum conyzoides, Chrysanthemum cinerarifolium Vis., Tagetes erecta dan Tridax procumbens dipakai untuk bahan insektisida. Beberapa jenis yang sangat disukai untuk tanaman hias adalah:  Beberapa jenis yang disukai untuk tanaman hias antara lain adalah :
Aster novae-anglieae L., A. novi-belgii L., Chrysanthemum morifolium Ramat., Coreopsis grandiflora Sweet, C. tinctoria Nutt., Comos bipinnatus Cav., C. sulphureus Cav., Dahlia pinnata, Gerbera jamesoni Adlam, Helianthus anuus, H. angustifolius L., Leucanthemum vulgare Lam., Sphagneticola trilobata, Solidago canadensis L., Tagetes erecta L., Tithonia rotundifolia (Mill.) S. Blake dan Zinnia elegans Jacq. Beberapa jenis yang dijual sebagai bunga potong antara lain: Aster, Chrysanthemum, Dahlia, Gerbera dan Solidago. Semua jenis ini tumbuhan pendatang biasanya dibudidayakan di dataran tinggi di Indonesia. Selain diketahui beberapa jenis suku Asteraceae yang bermanfaat, banyak yang dikenal sebagai tumbuhan gulma yang sangat menganggu. Baik itu gulma yang dikenal di system pertanian maupun gulma lingkungan. Sebagian besar jenis suku Asteraceae di Indonesia adalah tumbuhan pendatang bukan jenis asli Indonesia. Baik didatangkan dengan sengaja untuk dibudidayakan maupun yang datang tidak sengaja biji-bijinya terikut komoditi perdagangan seperti kopi, teh, tembakau, kontaminan biji2 tanaman hortikultur yamg diimpor dan sebagainya. Banyak diantaranya yang kemudian dapat beradaptasi, berkembang dengan cepat dan kemudian menjadi tumbuhan gulma yang sulit dikendalikan.
Contoh investasi yang sangat merugikan adalah gulma kirinyuh atau Chromolaena odorata yang menjadi masalah di Taman Nasional Pangandaran dan Ujung Kulon yang menjadi daerah konservasi banteng. Masalah yang sama juga terjadi di Nusa Tenggara Timur di padang penggembalaan hewan ternak. Padang rumput pengembalaannya dipenuhi oleh kirinyuh sehingga areal padang rumput menjadi semakin sempit dan banteng yang ada kekurangan makan. Daun kirinyuh tidak disukai banteng oleh karena apabila termakan oleh banteng akan menyebabkan diare. Di hutan-hutan yang telah dibuka, apabila ditumbuhi kirinyuh sangat rentan terbakar pada musim kemarau, karena renting-ranting yang terbakar dapat memercikkan bola api. Sekarang ini persebarannya telah merata keseluruh pulau di Indonesia. Kirinyuh ini berasal dari Amerika Selatan, dan merupakan satu-satunya anggota marga Chromolaena yang sekarang ini tersebar secara luas di wilayah tropik. Pertama kali ditemukan di Sumatera Utara di Deli, Lubuk Pakam tahun 1932. di perkebunan tembakau, kemungkinan masuk ke Sumatera melalui perdagangan tembakau. Setelah perang kemerdekaan umum dijumpai di Sumatera sehingga disebut sebagai “semak merdeka” atau karena bunganya yang berwarna putih keunguan disebut juga sebagai semak merdeka. Kemudian dengan cepat menjadi gulma penting, tersebar luas di Sumatera dan merambah ke pulau-pulau lain di Indonesia.

ARISTOLOCHIALES
Perlu perbaikan  sesuai dengan penulisan yang umum
PADMA-PADMAAN (RAFFLESIACEAE)
Harry Wiriadinata (Herbarium Bogoriense Puslit Biologi LIPI, Bogor)
Dalam dunia tumbuh-tumbuhan yang paling unik dan dianggap sangat ajaib adalah bunga Padma (Rafflesia arnoldii R. Brown), karena mempunyai ukuran yang yang paling besar, berdiameter lebih dari 80 cm, sedangkan batang tumbuhannya hanya berupa benang-benang atau miselium yang hidupnya sebagai holoparasit pada tumbuhan Tetrastigma (Vitaceae). Karena ukuran bunga yang besar tersebut maka Rafflesia arnoldii dikenal dengan nama padma raksasa. Keberadaan bunga unik ini persebarannya sangat terbatas dan statusnya sudah sangat langka sehingga dipakai sebagai symbol dari kepedulian pemerintah didalam melestarikan semua tumbuhan langka yang terdapat di Nusantara.    untuk puspa langka yang statusnya dilindungi perundang-undangan R.I.
Bunga Rafflesia arnoldii pertama ditemukan di daerah Bengkulu oleh rombongan Dr. Arnold.  Bunga ini sudah tidak asing lagi dan mudah dikenali. Kuncup bunga dilindungi oleh sisik daun pelindung berwarna coklat. Bunga mekar mempunyai diameter (55) 70-100 cm. Warna bunga merah tua dengan  bintil-bintil memucat. Cuping perhiasan bunga ada 5, panjang 24-25 cm, lebar 28-33 cm. Diaphragma 44-47 cm. Diameter tugu tengah 18-20 cm dengan cuatan (prosesus) berjumlah 42. Bunga ini berkelamin tunggal. Pada bunga jantan akan terdapat bulatan-bulatan benangsari pada tepi bagian bawah piringan (disk) sedang pada bunga betina bulatan tersebut tidak ada. Bakal biji letaknya dibagian dalam tengah tugu, tersebar dalam rongga-rongga.
       Rafflesia arnoldi merupakan tumbuhan holoparasit yang tumbuh pada batang Tetrastigma leucostaphylum (Dennst.) Alston  (sinonim T.lanceolarium (Roxb.) Planch.). Menurut Meijer jenis ini dapat dibagi dalam 2 varietas yaitu var. arnoldii  yang mempunyai persebaran cukup luas dan var atjehensis (Koord.) Meijer yang hanya terdapat di Aceh. Informasi mengenai kegunaan  atau pemakaian tumbuhan ini  di Indonesia  sangat sedikit. Di Kalimantan Barat dan di Sarawak  kuncup bunga jenis ini diperjualbelikan untuk dibuat obat.
Kerusakan habitat  tumbuhan inangnya sangat berpengaruh terhadap keberadaan dan kehidupan bunga tersebut. Berdasarkan catatan yang dikumpulkan oleh Meijer (1998)  disebutkan bahwa tumbuhan ini pernah tumbuh di Kebun Raya Bogor sekitar tahun 1856 dan berbunga pada Pebruari 1857. Tercatat juga adanya tumbuhan ini  pada tahun 1872, 1874 dan 1875.
Tempat tumbuh bunga padma raksasa ini di hutan primer dataran rendah hingga sedang pada ketinggian kurang dari 1000 m dpl. Hasil pengumpulan contoh specimen yang terdapat di Herbarium Bogoriense, persebaran Rafflesia arnoldii meliputi Aceh, Sumatra Barat, Bengkulu, Lampung, Semenanjung Malaya dan Kalimantan Barat
Akibat kerusakan habitat tempat tumbuh dan lingkungannya mengakibatkan tumbuhan inang dan bunga padma mengalami kelangkaan sehingga orang berpendapat bahwa hampir semua jenis padma sudah dalam status Genting EN i B3 cd.  Di Indonesia tumbuhan tersebut dilindungi perundang-undangan sebagai tumbuhan yang dilindungi. Secara hukum tumbuhan ini sangat  dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah no 7, tanggal 17 Januari 1999. Secara aktif  beberapa habitat asli  atau tempat  tumbuhan inang dan  tumbuhan Rafflesia arnoldi yang terdapat di beberapa tempat di Sumatra sudah dilindungi. 
Selain padma raksasa Rafflesia arnoldii di Sumatra  masih terdapat beberapa jenis padma liar yang hidupnya di hutan dan mempunyai status kelangkaan yang sama. Di Aceh dijumpai Rafflesia micropylora yang mempunyai bunga berukuran 60 cm pada waktu mekar. Jenis ini dengan mudah dibedakan karena mempuntai lubang diaphragma yang sangat kecil disbanding diaphragmanya. Dijumpai juga Rafflesia hasseltii Suringar atau cendawan muka rimau, tindawan biring, nama yang diberikan oleh masyarakat Talang Mamak di Jambi. Karena permukaan luar bunga terdapat lempengan lempengan warna putih diselingi warna merah, jenis ini diberi nama Rafflesia merah putih.  Kuncup bunga sangat bervariasi dalam tingkat kematangannya. Kuncup yang tua berdiameter 9-12 cm, tinggi 7-10 cm.  Pada waktu mekar bunga berdiameter 35-50 cm, cuping perigone 11-13 cm, lebar 15-17 cm;  berwarna  merah kecoklatan dengan lempang-lempang warna putih yang  relatif besar tidak beraturan. Tabung berukuran 18-20 cm, leher kolum 3 cm  sedangkan cuatan pada bunga jantan berjumlah 15-24,  dan pada bunga betina sekitar 8 cuatan. Jumlah bunga  pada satu tumbuhan inang sangat bervariasi, bisa berjumlah 10 atau lebih. Berdasarkan keterangan yang didapat dari lapangan kuncup bunga tumbuhan ini  dipakai sebagai obat oleh masyarakat  Talangmamak di daerah Datai, Seberida
Tempat tumbuh biasanya di lantai hutan primer yang lembab,  dekat tepi sungai  pada ketinggian 200-300 m dpl. Saat ini jenis tersebut masih dapat dijumpai di  Taman Nasional Bukit Tigapuluh  Sanglap Riau, Jambi dan Taman Nasional Krinci Seblat.
Disamping jenis yang terdapat di Sumatra, maka di Jawa masih dapat dijumpai 3 jenis padma yang ukurannya lebih kecil, pada waktu mekarnya bunga berdiameter  sekitar 20-35 cm, yaitu Rafflesia patma, R. rochussenii dan R. zollingeri.
Jenis yang  dikenal dengan nama Rafflesia patma Blume non Meijer  mempunyai nama daerah: Patma. Keberadaan tumbuhan ini  di alam sangat terbatas,  terutama diakibatkan  oleh pengambilan kuncup oleh masyarakat untuk  dijuak sebagai bahan jamu.
Persebaran tumbuhan ini terbatas pada beberapa tempat dibagian selatan pulau Jawa saja sehingga merupakan tumbuhan endemik di Jawa Barat dan Jawa Tengah , ditemukan juga di  Sumatra (Lampung).  Bunga yang mekar sempurna bergaris tengah  20-30 cm.  Cuping perigone berukuran 13-14 (19) cm, lebar 10-14 cm, berwarna merah kecoklatan dengan bintil-bintil  warna keputihan.  Lubang diaphragma sekitar 5-7 cm.  Tugu  mendukung banyak cuatan-cuatan pada bagian atasnya. Di Jawa Tengah bunga patma merupakan jenis yang paling banyak diambil untuk dijadikan bahan obat dengan nama jamu patmasari yang diduga berkhasiat  mengobati penyakit wanita dan meningkatkan gairah seksual. Seperti halnya padma raksasa Kebun Raya Bogor pernah  menanam tumbuhan ini pada tahun 1866, 1879 dan 1929.  Teknik pembudidayaannya belum diketahui secara baik sehingga sampai saat ini tumbuhan tersebut belum berhasil dikembangbiakan.
Rafflesia zollingeriana atau dikenal denganPadma, patma (Jawa), kembhang pakma (Madura). Berdasarkan penelitian Meijer, jenis ini  sama dengan jenis padma  (R.patma) yang populasinya berada di Jawa Barat karena bentuk dan ukuran  bunga sangat mirip. Bunga pada waktu mekar berdiameter 15-35 cm. Bunga yang mekar sempurna bergaris tengah  20-30 cm.  Cuping perigone berukuran 13-14 (19) cm, lebar 10-14 cm, berwarna merah kecoklatan dengan bintil-bintil  warna keputihan.  Lubang diaphragma sekitar 5-7 cm.  Tugu  mendukung banyak cuatan-cuatan pada bagian atasnya.
Tempat tumbuh sangat terbatas, hanya dijumpai  di daerah hutan  pantai  dataran rendah, atau hutan campuran mulai dari tepi laut - 100 m dpl.. Merupakan jenis endemik di daerah pantai Selatan Jawa Timur. Saat ini terdapat  populasi tumbuhan di cagar alam Meru Betiri, namun penduduk lokal seringkali memungut kuncup bunga tumbuhan ini untuk dijadikan bahan obat terutama bagi kaum ibu. Penyerbukan bunga dilakukan oleh lalat hijau (Lucilia sp.), lalat biru (Protocalliphora sp.) lalat abu-abu (Sarcophaga sp.) lalat mata hijau (Tabanus sp.) dan  lalat buah (Drosophila melanogaster). Persebaran biji mungkin dilakukan oleh  serangga tanah, tupai, landak, babi hutan dan kijang.
Selain ke 2 jenis yang persebarannya di perbatasan Jawa Barat dan Tengah serta Jawa Timur tersebut terdapat jenis yang tidak mempunyai cuatan, yaitu Rafflesia rochussenii Teijsm. & Binnyang persebarannya hanya di Jawa Barat. Jenis ini tumbuh pada inang Kibarera (Tetrastigma) sehingga bunga padma yang satu ini mempunyai nama daerah sunda:  “perud kibarera”. Secara sepintas bentuk dan ukuran bunga jenis ini sangat mirip dengan bunga padma  (Rafflesia patma). Bunga yang mekar sempurna bergaris tengah  12- 30 cm, tinggi 10 cm.  Cuping perigone berukuran 5-6 cm, lebar 5-6 cm, berwarna merah kecoklatan dengan bintil-bintil  warna keputihan.  Lubang diaphragma sekitar 5-7 cm. Populasi yang tersisa hanya terdapat di Taman Nasional Gn. Gede Pangrango dan Gn. Salak . Sedangkan  populasi di daerah lainnya di Jawa Barat diperkirakan sudah punah.Tumbuh di lantai hutan perbukitan dan hutan pegunungan  pada ketinggian 700-1400 m.  Vegetasi hutan tersebut biasanya didominasi oleh suku pasang-pasangan (Fagaceae). Persebarannya sangat terbatas, merupakan tumbuhan endemik di  Jawa Barat. Ditemukan di daerah hutan pasang-pasangan pegunungan Gunung Salak, Gunung Gede/Pangrango dan pada waktu dulu di Jampang , Pelabuhan Ratu,  Garut dan Bandung Selatan. Seperti jenis lainnya maka untuk tindakan kelestariannya tumbuhan ini dilindungi berdasarkan peraturan pemerintah no 7, tanggal 17 Januari 1999.  Secara in-situ populasi yang berada di taman nasional  terlindungi secara pasif. Jenis ini belum berhasil dibudidayakan. Penanaman melalui biji  belum pernah dilakukan. Kebun Raya Bogor pernah menanam tumbuhan ini pada tahun 1850 yang  berbunga pada tahun1853 penanaman ini  diperkirakan dilakukan melalui penindahan tumbuhan inang yang telah terinfeksi kuncup Rafflesia  sebelumnya.
Padma-padmaan (Rafflesiaceae)  termasuk tumbuhan berkeping dua, mempunyai 8 marga dan sekitar 50 jenis. Marga tersebut yaitu Apodanthes, Bdallophytum, Berlinianche, Cytinus, Pilostyles, Rafflesia, Rhizanthes dan Sapria. Seluruhnya meliputi tumbuhan  tidak berdaun dan tidak berchlorofil, perawakannya hanya berupa benang-benang yang sangat halus hidup sebagai holoparasit pada inangnya Tetrastigma leucostaphyum  (Dennst.) Alston ex Mabb  (=T.lanceolarium (Roxb.) Planch.).  Mekarnya bunga secara sporadik dan tidak mempunyai waktu  atau musim tertentu. Kuncup berbentuk bulat seperti bola, besarnya tergantung dari jenis, namun pada waktu mekar bunga dapat dibedakan antara tabung bunga (perigone tube) yang biasanya dilindungi oleh beberapa daun pelindung dan cuping bunga (perigone lobes). Pada bagian tengah terdapat diaphragma dan lubang yang terbuka disebut mulut diaphragma. Pada marga Rafflesia cuping perhiasan bunga (perigone lobe) berjumlah 5 sedangkan pada marga Rhizanthes cuping berjumlah 10 dan berukuran lebih sempit. Tiap  bunga mempunyai satu macam kelamin. Pada bunga jantan stamen terdapat pada bagian tepi bawah dari piringan (disk), biasanya berjumlah sekitar 22 bentuknya bulat berwarna putih kuning. Pada bunga betina bakal buah terdapat pada bagian dalam tugu, bakal biji tersebar. Pada waktu bunga mekar mengeluarkan bau seperti bangkai tikus yang merangsang serangga untuk berdatangan. Sehingga diduga bahwa penyerbukan bunga dilakukan oleh lalat hijau. Matangnya bunga kalau terjadi penyerbukan sangat lama sampai berbulan-bulan, pada Rafflesia arnoldii diperkirakan hampir 9 bulan. Bijinya berukuran mikroskopis, panjang sekitar 0,5 mm. Pemencaran biji diduga disebarkan oleh binatang, mamalia kecil seperti tupai tanah, landak.

SANTALALES
Balanophoraceae
Agung Sedayu (Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Jakarta)
Suku Balanophoraceae merupakan kelompok tumbuhan dengan memiliki pola hidup yang unik, namun jarang dikenal oleh masyarakat, bahkan orang yang berkecimpung dalam bidang biologi sekalipun. Catatan Heyne (1927) menunjukkan hanya masyarakat Jawa dan Sunda yang memiliki nama panggilan untuk kelompok tumbuhan ini, yaitu perud.
Semua anggota suku Balanophoraceae adalah tumbuhan yang tidak berklorofil, merupakan parasit pada akar tumbuhan lain, mirip dengan Rafflesia (walaupun Rafflesia tidak menempel pada akar, tapi pada batang inangnya). Suku ini memiliki rimpang seperti umbi (tuberous rhizome); berdaun atau tidak, jika memiliki daun tidak berklorofil, sehinga berwarna merah, putih, kuning atau coklat. Perbungaan terminal, berbentuk membulat, menggada, menjorong atau tongkol yang padat, memiliki banyak bunga. Bunga pada rakis utama atau pada cabang perbungaan yang telanjang, berseling dengan daun gagang (bractea) atau rambut, atau tidak, uniseksual. Tepal 3—5 (biasanya 4), bebas, mengatup saat kuncup, selanjutnya menghadap ke atas, atau berpautan membentuk tabung; benang sari (stamen) tak terhingga; tangkai sari berpautan membentuk pilar; kepala sari berpautan membentuk bongkol yang memiliki ruang ¥; ruang tersebut merekah secara longitudinal. Bunga betina memiliki tajuk (perianth) yang menggala (adnate) terhadap bakal buah, atau tidak; bakal buah berruang 1; bakal biji 1 atau rudimenter; tangkai putik 1—2; buah tak bengang (indehiscent) (Backer & Bakhuizen van den Brink 1965, Hansen 1975).
Jenis yang cukup sering dijumpai di sekitar daerah Puncak, hingga Taman Nasional Gede Pangrango, Jawa barat adalah Balanophora elongata Bl.
Jenis tumbuhan ini memiliki batang yang muncul dari umbi pangkal. Panjang total parasit termasuk umbi 2—30 cm. Umbi biasanya merupakan massa berdiameter 1—25 cm, bercabang sejak pangkal, mengandung substansi berlilin (balanophorine) dalam kadar yang beragam. Umbi tunggal berukuran 1—6 cm x 1—6 cm, bulat telur, menjorong atau bulat telur sungsang, kadang hampir silindris atau membulat. Permukaan umbi berbutir halus hingga berkotakan (tessellate) kasar, sering dengan bintil berbentuk bintang. Batang muncul dari puncak umbi. Daun 2—40, berpangkal lebar, berpusar (whorled), berhadapan, tersusun berseling hingga spiral. Perbungaan seperti tongkol, di ujung batang. Bunga uniseksual, bertangkai atau tidak. Perbungaan jantan tandan-berbulir, berukuran 1—18 cm ½--7 cm saat antesis. Perbungaan betina berbulir, membulat telur, menjorong, membulat telur sungsang atau membulat, ½--7 x ½--81/2 cm, dalam setiap perbungaan diperkirakan terdapat hingga 107 buah bunga. Bunga didukung oleh daun gagang (bractea). Pada perbungaan betina daun gagang berubah menjadi tongkol kecil berbentuk gada sepanjang ½--21/2 cm. Balanophora elongata Bl. dapat dioecious atau monoecious. Bunga dengan tajuk 3, 4—5 atau 6, atau kasus khusus hingga 14 daun tenda, actinomorf, bisimetrik atau zigomorf; daun tenda bulat telur hingga melancet, melancip atau hampir persegi dan rompong (truncate). Benang sari membentuk sinandrium (synandrium) yang memanjang. Kepala sari terdiri dari 4—5 hingga banyak sel. Bunga betina tanpa tajuk. Bakal buah berukuran 0,2—0,7 mm  x 0,15—0,4 mm, tangkai putik berukuran panjang  ½--11/2 mm, berbentuk stigmoid. Buah tak bengang (indehiscent), seperti geluk (nut). Embrio beberapa sel. Alat penyebaran (diaspora) adalah buah dengan bagian tangkai buah  dan tangkai putik.
Jenis ini ditemui pada ketinggian 1000—3000 m sebagai parasit pada Strobilanthes sp., Macropanax dispermus, Schefflera aromatica, Rhododendron retusum, Vaccinium laurifolium, V. lucidum, Albizia lopantha, Ficus lepicarpa, F. ribes dan lain-lain. Walaupun sepanjang hidupnya B. elongata bergantung pada inangnya dalam hal nutrisi, namun kelihatannya sebagai parasit sejati B.elongata tidak sampai membunuh inangnya. 
Balanophora elongata Bl. mendapat nama perud cantigi oleh masyarakat Sunda. Rupanya nama daerah (Sunda) jenis suku Balanophoraceae bergantung dari jenis inang yang ditumpangi oleh jenis tersebut (walaupun satu jenis Balanophora tidak merupakan parasit spesifik satu jenis tumbuhan). Kelihatannya nama perud cantigi diperoleh karena individu-individu B. elongata yang ditemui banyak yang menginfeksi tumbuhan Vaccinium spp. (cantigi).
Secara lokal, masyarakat Sunda menggunakan lilin yang keluar dari umbi (balanophonine) untuk bahan bakar obor (Hansen 1975, Backer & Bakhuizen van den Brink Jr. 1965, van Steenis 1972).
Jenis lain yang sering juga ditemui adalah Rhopalocnemis phalloides Jungh. Jenis ini sering di Cagar Alam Telaga Warna, Puncak, atau Salabintana, Taman Nasional Gede Pangrango, Jawa Barat. Tidak tercatat nama daerah yang digunakan masyarakat untuk jenis ini.
Rhopalocnemis phalloides Jungh. adalah tumbuhan monoecious atau dioecious (perbungaan dapat monoseksual atau biseksual) berwarna kuning atau kecoklatan. Pada titik pertemuan antara inang dengan akar terbentuk umbi pangkal. Umbi dengan permukaan mengeriput, mengandung pati, dengan panjang hingga perbungaan 15—25 cm. Umbi berukuran diameter 6—21 cm dan panjang 6—13 cm dengan permukaan yang mengeriput tak beraturan; selongsong sekitar batang sepanjang 1—5 cm , bercuping tak beraturan. Batang ber-perbungaan muncul dari umbi dengan memecah jaringan luar umbi, berukuran panjang 2—10 cm dengan diameter 2—5 cm, dengan sisik berbintil (warty) yang tersusun spiral, sedikit terlengkung balik (recurved). Perbungaan seperti tongkol, uniseksual atau biseksual, pada pertumbuhannya dilindungi sisik memerisai bersegi banyak yang memipih, perbungaan  dengan panjang 7—20 cm, berdiameter 3—7,5 cm. Sisik bersegi banyak  bagian atas ½ cm, pada bagian tengah mirip dengan yang bagian bawah yang membentuk struktur yang melengkung balik (recurving). Bunga duduk, dikelilingi banyak rambut pendukung yang menghasilkan nectar; bunga jantan dengan tajuk menabung merekah tak beraturan atau kelihatan pecah menjadi 4 cuping; benang sari membentuk sinandrium (synandrium) berbentuk pilar dengan kepala sari membentuk bongkol berisi 20—30 ruang (thecae) dalam dua baris; bunga betina dengan tajuk yang mengala (adnate) pada bakal buah dan membentuk 2 jengger pada puncak bakal buah; kepala putik mementol (capitate); bakal buah memipih pada posisi anterior-posterior. Pada saat antesis, madu akan dihasilkan dari bulu-bulu tipis di antara bunga-bunga betina.
Jenis ini sebenarnya tersebar cukup luas, mulai dari Himalaya timur, Indocina, Sumatr, Jawa, Sulawesi hingga Maluku, di hutan pegunungan berketinggian1000—2700 m dpl. Seperti Balanophoraceae lain, R. phalloides merupakan parasit pada akar berbagai jenis pohon, seperti Ficus fistulosa, Quercus pruinosa, Macaranga tanarius, albizia lopantha, Schima wallichii  dan lain-lain.
       Marga Balanophora dapat dibedakan dengan marga Rhopalocnemis dapat dibedakan dari bunga daun buahlate yang telanjang dengan satu tangkai putik pada Balanophora dan bunga daun buahlate dengan tajuk berbentuk tabung dengan dua tangkai putik pada Rhopalocnemis (Keng 1969)
Penyerbukan Balanophoraceae kemungkinan dilakukan oleh serangga. Kawakita & Kato  (2002) melaporkan mekanisme penyerbukan pada B. kuroiwai dan B. tobiracola di Jepang) yang dilakukan oleh semut, kecoak dan ngengat pyralid yang memakan nektar yang dikeluarkan kelenjar netktar di antara bunga. Semut dan kecoak bertanggungjawab terhadap penyerbukan geitonogami, sementara ngengat kelihatannya bertanggungjawab terhadap penyerbukan silang out-crossing.
Mekanisme germinasi biji Balanophora pada akar inang telah diamati oleh Shivamurti dkk. (1981). Biji Balanophora menempel pada akar inang dengan bantuan endosperma biji di kutub radikula yang membentuk struktur seperti tabung yang berfungsi sebagai jangkar biji dengan akar inang. Selanjutnya radikula akan berkembang sebagai haustorium yang akan menembus ikatan pembuluh akar inang.
Tidak banyak penelitian tentang kandungan kimia pada Balanophoraceae. Heyne (1927) hanya menyebutkan bahwa jenis-jenis Balanophora banyak menghasilkan lilin, yang kemudian dikenal dengan nama balanophonine (Mitsumasa dkk. 1982)., namun tidak menyebutkan kandungan kimia di dalamnya. Baru-baru ini hasil spektroskopi menunjukkan jenis Balanophora latisepala mengandung dua jenis senyawa baru yang diketahui sebagai  loganin 6'-O- b-glukopiranosida and 4-O-(6'-O-p-kumaroyl-b-glukopiranosil) koniferil aldehida bersama-sama tujuh senyawa lain yang telah dikenal, yaitu koniferin, koniferil aldehida, koniferil aldehida b-glukopiranosida, 8-epiloganin, (7S,8R) dehidrodiconiferil alkohol dan (+)-pinoresinol-b-glukopiranosida (Kanchanapoom dkk. 2001).
Pada Klasifikasi APG II (2003), Balanophoraceae merupakan salah satu suku dengan posisi taksonomi yang sama sekali belum jelas, dan belum dapat ditempatkan pada bangsa atau kelas tertentu.
VERBENACEAE
Priyanti (Jurusan Biologi Universitas Islam Negeri)  
Tectona grandis L.f. Nama daerah: Jati (Jawa, Sunda, Indonesia), Jaten (Madura). Kayunya dapat digunakan untuk bangunan rumah dan industri mebel. Daun oleh penduduk digunakan sebagai bahan pembungkus. Tanaman jati tersebar di Asia Tenggara dan Malesia Barat. Tumbuh pada ketinggian 1- 800 m dpl. Di Indonesia pertumbuhan jati tidak begitu baik pada ketinggia di atas 700 m dpl. Jati ditanam selain untuk diambil kayu dan daunnya, ternyata juga dapat digunakan sebagai tanaman penahan angin, tanaman pelindung atau peneduh, dan pencegah banjir atau erosi.
Pohon, tinggi 25-40 m. Batang jauh di atas tanah baru bercabang, pada daerah yang subur batang tumbuh tegak  dan lurus tetapi pada tanah-tanah yang miskin hara batang tumbuh melengkung. Tajuk tidak beraturan atau membulat telur, dahan bengkok dan bercabang banyak. Bagian tubuh yang muda dan pada sisi bawah daun berbulu vilt rapat, berbentuk bintang. Daun bertangkai pendek atau duduk, membulat telur, ujung berbentuk baji dengan pangkal menyempit, panjang 23-40 cm, lebar 11-21 cm, daun umumnya berwarna hijau di bagian atas dan hijau kekuning-kuningan di bagian bawah, daun muda berwarna cokelat kemerah-merahan. Bunga di ujung, tersusun menganak payung menggarpu, berambut serupa tepung, ditutupi oleh kelenjar. Bunga umumnya berbilangan 6-7, jarang 5, berdiameter lebih kurang 1 cm. Kelopak bentuk lonceng, ketika menjadi buah membesar dan melembung. Mahkota bentuk jantera corong, menabung pendek, putih kadang-kadang agak kemerahan, leher tidak berambut. Benang sari sebanyak taju bunga. Bakal buah beruang 4. Bakal biji 4. Ujung tangkai putik terbelah dua pendek. Buah berambut kasar, daging tebal, biji 2-4.
Semak, perdu tegak atau memanjat, atau pohon kadang-kadang berduri, tidak bergetah. Batang atau ranting umumnya berbentuk segi empat. Daun berhadapan atau berkarang, tanpa daun penumpu, tunggal atau majemuk, terdapat titik kelenjar. Bunga zygomorf, berkelamin 2. Kelopak berdaun lekat, terpancung atau dengan gigi taju 2-6, tetap melekat. Mahkota berdaun lekat, tepinya sering berbibir 2 sedikit atau banyak, bertaju 4-8. Benang sari 2 atau 4-8, terletak pada tabung mahkota, lepas, sama atau beberkas 2, kepala sari beruang 2. Staminodia tidak ada atau kecil. Tonjolan dasar bunga kecil. Bakal buah menumpang, beruang 2 dengan 1-2 bakal biji tiap ruang atau beruang 4 dengan 1 bakal biji setiap ruang. Putik 1, bulat atau berlobus 2. Buah batu, berdaging tak berair atau berair. Biji 1-8.
DAFTAR PUSTAKA
Afriastini, J.J. 2003. Marsilea crenata C. Presl. dalam: de Winter, W.P. & V.B. Amoroso. 2003. Plant resources of South-East Asia no 15 (2). Cryptogams: Ferns and fern allies, Prosea Foundation, Bogor: 133—135.
Alston, A.H.G. 1935. The Selaginellaceae of the Malay Islands: 1. Java an the Sunda Islands. Bulletin Jardin Botanique de Buitenzorg 3 (13): 432-442.
Ando, H. & A. Matsuo. Applied Bryology. Dalam Advances in Bryology 2 : 152-162
Anonymous. 2003. An update of the Angiosperm Phylogeny Group classification for the orders and families of flowering plants: APG II. Botanical Journal of the Linnean Society, 141: 399–436.
Anonymous. 2004. An Interactive Key to Malesian Seed Plants" v. 1.0. The Nationaal Herbarium Nederland Leiden and The Royal Botanic Gardens
Anthony, F., Clifford, M. N. & Noirot, M. 1993. Biochemical Diversity in Coffea: Chlorogenic Acids, Caffeine and Mozambioside Contents. Genet. Resources & crop evol.40.
Araghiniknam M, S. Chung, T. Nelson-White, C. Eskelson, R.R. Watson. 1996, Antioxidant activity of Dioscorea and dehydroepiandrosterone (DHEA) in older humans. Life Sci, 59(11): 147—57.
Backer C.A. & Bakhuizen van den Brink Jr R.C. 1965.  Flora of Java. Vol II. NVP. Noordhoff-Groningen,The Neherlands. p 225.
Backer CA & Bakhuizen van den Brink RC. 1965.  Flora of Java. vol 2. pp  36–51
Backer CA. 1951. Flagellariaceae. dalam: van Steenis, C.G.G.J. 1948—1954. Flora Malesiana Series 1 vol 4. Noordhoff-Kolff N.V. Jakarta, 245—248