GENTIALES
KAMBOJA – KAMBOJAAN (Apocynaceae)
Ina Erlinawati (Herbarium Bogoriense, Puslit Biologi LIPI)
Bunga kamboja – Plumeria acuminata Ait. (P.
acutifolia Poir.). Masyarakat Jawa menyebutnya “kamboja, samboja, semboja”.
Dalam bahasa Sunda dinamakan” kamoja, samoja”. Di Bali dinamakan ”bunga Japun
(bunga Jepang)”. Tumbuhan ini berasal dari Amerika Tengah, terutama dari
Ekuador, Jamaika dan Meksiko. Mula – mula tumbuhan ini dibawa dari Meksiko oleh
orang – orang Spanyol ke Kepulauan Filipina. Pada masa Rumphius, tumbuhan ini
sampai ke Ambon tetapi tidak diketahui bagaimana tumbuhan ini bisa sampai ke
pulau tersebut. Pada waktu yang sama, tumbuhan ini juga sampai ke India, tetapi
perjalanan tumbuhan sampai kesana juga tidak tercatat. Tumbuhan ini telah ada di
India sejak abad ke-18 dan tumbuhan tersebut telah dibawa ke Eropa lama
sebelumnya. Orang Spanyol membawanya melintasi Pasifik sebagai tanaman hias,
juga karena tumbuhan tersebut berkhasiat obat.
Tumbuhan ini berupa perdu atau pohon pendek; daun
berseling, memanjang – melanset, ujung meruncing pendek, tulang daun banyak, 20
– 37,5 cm x 6 – 12,5 cm, tangkai daun 5 – 9 cm; mahkota bunga berbentuk corong,
bercuping 5, cuping mahkota berbentuk bulat telur, lebar segmen mahkota 16 – 25
mm, di sisi luar, di bagian yang overlapping, hanya ujungnya yang berwarna
merah, sisi sebelah dalam tidak berwarna merah; perbungaan pada tangkai bunga
sepanjang 4 – 15 cm, gundul atau sangat sedikit berambut; tabung mahkota
berbentuk silindris, di bagian luar gundul, kerongkongan dan pangkal tabung
mahkota berambut; folikel dengan ujung sempit, tumpul, berwarna violet gelap –
coklat, gundul, 15 – 20 cm x 2 – 2,75 cm; percabangan gundul; biji gundul,
berukuran ± 4 cm. Tumbuhan ini hidup pada daerah dengan ketinggian 1,5 – 6 m
alt, berbunga sepanjang tahun dan merupakan tanaman asli Amerika Tropik. Di
Jawa, biasanya ditanam terutama di makam.
Kulit tumbuhan Plumeria
acuminata Ait. (P. acutifolia
Poir.), di Jawa digunakan untuk sakit belak yaitu telapak kaki yang bernanah
dan berbelah – belah. Air seduhan yang dingin digunakan untuk merendam kaki
yang bengkak, untuk penyakit busung air dan penyakit kelamin. Di Madura,
seduhan kulit atau akarnya digunakan untuk obat kencing nanah. Getah yang
dikeluarkan dari semua bagian tumbuhan dioleskan pada gusi dan untuk mengobati
geraham yang berlubang. Getah juga bisa untuk menutupi luka – luka kecil dan
mematangkan bengkak – bengkak dengan cepat. Di Madura, getah diminum untuk obat
buang air atau pencahar. Di Meksiko, P.
acuminata menghasilakan kautcuk dan menghasilkan karet rata – rata 14 – 16
% dengan kualitas yang cukup baik dan diduga bahwa hasil yang terbaik dapat
dicapai dengan memangkas cabang – cabang yang muda secara teratur dan
mengolahnya. Daunnya yang diremas – remas menjadi bubur, berguna sebagai obat
untuk mematangkan bengkak – bengkak dan Rumphius memberitakan bahwa bunganya
dibuat manisan oleh orang Cina di
Jakarta, tetapi diduga manisan ini dapat menyebabkan orang mabuk.
Selain itu, adapula jenis P. rubra L. Tumbuhan ini berupa pohon pendek atau perdu, tinggi
mencapai 8 m dengan daun memanjang – melanset, ujung meruncing pendek, mengurva
terbalik atau tegak, berukuran 14 – 30 cm x 5 – 10 cm, panjang tangkai daun 2,5
– 7 cm; mahkota bunga berbentuk corong, bercuping 5, cuping mahkota berbentuk
bulat telur, lebar segmen mahkota 25 – 35 mm. Di sisi luar, seluruh bagian yang
overlapping berwarna merah tua, begitu juga di sisi dalam, bagian luar tabung
berwarna merah tua; perbungaan pada tangkai bunga sepanjang 6 – 20 cm, biasanya
berambut kadang agak gundul, ujung percabangan perbungaan ungu atau seluruhnya
ungu gelap; folikel meruncing, panjang 13 – 20 cm. Habitat pada daerah dengan
ketinggian 2 – 6 m alt. P. rubra
merupakan tumbuhan asli Meksiko, Amerika Tengah dan Venezuela. Penyebaran P. rubra
adalah di Meksiko hingga Guiana dan Ekuador, juga di India Barat. Di
India Barat dinamakan ”West Indian Red Jasmine”. Di Jawa ditanam untuk
memproduksi buah.
Jenis plumeria yang lain adalah P. alba L. Sama dengan jenis yang lain, tumbuhan ini
berupa pohon pendek atau perdu dengan daun memanjang – melanset, tetapi ujung
tumpul atau membundar, tepi daun mengurva terbalik, ibu tulang daun dan tulang
daun lebih mengkilap pada permukaan atas, permukaan atas daun gundul dan
permukaan bawah berambut abu – abu, berukuran 20 – 30 cm x 5,5 – 8,5 cm;
tangkai daun 4,5 – 6,5 cm; mahkota bunga berbentuk corong, bercuping 5, cuping
mahkota berbentuk bulat telur – bulat telur terbalik, panjang segmen mahkota
1,75 – 2,25 x lebarnya, lebar 16 – 21 mm, tangkai bunga 14 – 20 cm; folikel
menggaris, lembut, panjang 15 – 28 cm. Tumbuhan ini hidup pada daerah dengan
ketinggian 4 – 6 m alt. P. alba merupakan bunga kebangsaan Nikaragua dan
Laos. Di Nikaragua dinamakan "Sacuanjoche" dan di Laos dinamakan
"Champa". Di Jawa ditanam sebagai tanaman hias.
Plumeria
merupakan genus kecil yang terdiri atas 8 jenis dan merupakan tumbuhan asli
Amerika tropik dan subtropik. Kata plumeria digunakan untuk menghargai jasa
botanis berkebangsaan Perancis Charles Plumier, yang menjelajahi Dunia Baru
pada abad ke-17 untuk mengumpulkan berbagai jenis tumbuhan dan binatang. Semua
jenis plumeria sering dinamakan ”frangipani”. Kata ”frangipani” berasal dari
bahasa Perancis, ”franchipanier”, susu yang terkoagulasi yaitu eksudat berupa
getah putih yang keluar dari semua bagian tanaman yang terluka. Pendapat lain
menyatakan bahwa nama tersebut berasal dari nama seorang peraih nobel
berkebangsaan Italia yang menemukan senyawa untuk parfum yang dihasilkan dari
bunga tumbuhan tersebut yang berbau sangat harum. Plumeria tumbuh bagus di
daerah panas. Perbanyakan dilakukan dengan stek pada bulan Februari – Maret
atau dengan kultur jaringan. Selain itu dapat juga dengan perkecambahan biji.
Di Kepulauan Pasifik, tanaman ini sering terdapat di makam.
Selain Plumeria, marga lain yang termasuk
kedalam suku Apocynaceae adalah Adenium,
yang saat ini banyak diminati sebagai tanaman hias berpenampilan seperti
bonsai. Di Indonesia, Adenium dikenal
dengan nama Kamboja Jepang. Nama ini sebenarnya menyesatkan, karena dapat
disamakan dengan kamboja, yang banyak ditemui di areal pemakaman, yang kita
bahas diatas. Sedangkan penambahan kata jepang seakan-akan bunga ini berasal
dari Jepang, padahal Adenium berasal dari Asia barat dan Afrika. Masyarakat Indonesia menamakan Adenium sebagai Kamboja Jepang. Hal ini
kemungkinan dikaitkan dengan stereotype yang beredar. Contohnya buah-buahan
yang besar biasa dinamakan sebagai buah Bangkok, sedangkan tanaman yang
kecil-kecil biasa disebut Jepang, sehingga jika sejak dahulu sudah ada Kamboja
yang berperawakan tinggi besar, maka begitu ada tanaman yang perawakannya kecil
tapi mirip dengan Kamboja, maka tanaman tersebut dinamakan Kamboja Jepang.
Sebenarnya Kamboja sendiri termasuk kedalam marga Plumeria, yang merupakan kerabat jauh dari Adenium. Plumeria berbatang kecil memanjang tanpa
bentuk umbi, dengan perawakan yang besar dan dapat tumbuh tinggi, dengan bentuk
daun panjang dan besar. Sedangkan Adenium
berbatang besar dengan bagian bawah menyerupai umbi, namun perawakan tanamannya
sendiri kecil dengan daun kecil panjang. Akar adenium juga dapat membesar
menyerupai umbi.
Adenium berasal dari daerah gurun pasir yang kering, dari daratan Asia Barat
sampai Afrika. Di sana dinamakan Mawar Padang Pasir (desert rose). Tanaman ini
lebih menyukai kondisi media yang kering dibandingkan media yang terlalu basah
karena Adenium berasal dari daerah kering. Tanaman ini dinamakan Adenium,
karena salah satu tempat asal Adenium adalah daerah Aden (Ibukota Yaman).
Akar Adenium
yang membesar seperti umbi adalah tempat menyimpan air sebagai cadangan disaat
kekeringan. Akar yang membesar ini bila dimunculkan diatas tanah akan membentuk
kesan unik seperti bonsai. Sedangkan batangnya lunak tidak berkayu (disebut
juga sebagai sukulen), namun dapat membesar. Tunas-tunas samping dapat tumbuh
dari mata tunas pada batang atau bekas daun yang gugur. Mata tunas samping
tersebut akan berfungsi (tumbuh) apabila pucuk atas tanaman dipotong. Hal
inilah yang dilakukan orang pada saat memprunning atau memangkas, untuk mendapatkan
daun baru dan agar bunga yang akan muncul nantinya lebih serempak. Daun Adenium
beragam, melonjong, runcing, kecil dan besar, serta ada yang berbulu halus, ada
pula yang tanpa bulu. Sedangkan bunga Adenium berbentuk seperti terompet,
berkelopak 5, dengan aneka ragam warna sesuai dengan jenis (varietasnya)
masing-masing.
Marga Adenium
hanya terdiri atas satu jenis yaitu Adenium
obesum yang terdiri atas beberapa subjenis antara lain Adenium obesum
subsp. boehmianum yang tersebar di Namibia, Angola, Adenium obesum subsp. obesum yang
tersebar di Arabia, Adenium obesum subsp. oleifolium, dengan
daerah penyebaran Afrika Selatan, Botswana, Adenium obesum subsp. socotranum,
yang tersebar di Socotra, Adenium obesum subsp. somalense, dengan daerah penyebaran Afrika
Timur, serta Adenium obesum subsp. swazicum yang tersebar di
daerah Afrika Tenggara.
Apocynaceae mencakup tumbuh – tumbuhan
berupa pohon atau terna, tegak atau memanjat, jarang sekali yang berupa herba;
bergetah putih. Daun berhadapan atau melingkar. Bunga biseksual, teratur, dalam
malai sederhana atau korimbosa. Tabung kelopak pendek, bercuping 5, biasanya
terdapat kelenjar di dalamnya. Tabung mahkota panjang dan berbentuk corong,
bercuping 5, terpilin. Benang sari 5, epipetal; kepala sari menggaris. Ginesium
berbakal buah 2; 2 bakal biji, kebanyakan superior. Buah terdiri atas sepasang
folikel, berupa pelok atau kapsul.
Kamboja – kambojaan merupakan suku tumbuh – tumbuhan yang besar, terdiri
atas lebih dari 300 marga yang kebanyakan kosmopolitan dan melimpah di daerah
tropik. Sekitar 30 marga merupakan tumbuhan asli Malaya.
Ini perlu diperbaiki lho atau rewrite
WIDURI-WIDURIAN (ASCLEPIADACEAE)
Sri Rahayu (Pusat Konservasi Tumbuhan, Kebun Raya Bogor, LIPI)
Widuri (Calotropis gigantea)
.......................................................
Pertelaan....................................................................................
Suku Widuri-widurian
(Asclepiadaceae) pada umumnya tumbuh di daerah tropis atau subtropis. Pada saat sekarang, terdapat 240 marga dengan
3400 jenis. Daripadanya, 61 marga
termasuk tumbuhan sukulen dalam arti luas (Albers & Meve, 2002).
Suku ini telah mengalami
beberapa kali revisi. Pada saat ini
dianggap sebagai sebuah suku mengikuti pendapat Schumann (1895), Bruyns &
Forster (1991) serta Liede & Albers (1994) yang membagi anggotanya ke dalam
tiga yang anak suku, yaitu Periplocoideae, Secamonoideae dan
Asclepiadoideae. Pandangan konservatif
ini digunakan karena sistem ini masih digunakan dan diterima oleh ilmuwan
maupun masyarakat awam. Namun demikian,
menurut pendapat Olmstead et al (1993) atau Sennblad & Bremer (1996) yang
mendasarkan pada hasil studi molekuler, ketiga anak suku tersebut disarankan
untuk dimasukkan ke dalam suku kamboja-kambojaan (Apocynaceae) dengan mengabaikan suku Widuri-widurian
(Asclepiadaceae), kembali pada masa Jussieu sebelum revisi oleh Robert
Brown. Konsep ini kemudian di
transformasi ke dalam taksonomi formal oleh Endress & Bruyns (2000).
Penerimaan oleh kalangan luas
terhadap konsep Bruyns & Forsters (1991) dengan landasan studi morfologi,
berdasarkan klasifikasi Brown (1895) dan Schumann (1895).
Anggota suku Asclepiadaceae
memiliki struktur bunga yang kompleks dalam kaitannya dengan spesialisasi dalam
sistem penyerbukan. Dari tingkat
kemajuan struktur bunga serta modifikasi serbuk sari menjadi polinia, tumbuhan
ini menjadi seprti ”anggrek” pada dikotiledon. Dengan struktur bunga yang
kompleks, unik, indah dan memiliki komposisi warna yang menakjubkan, serta
sifat sukulen dari sebagian anggotanya, menjadikannya disukai para pecinta
tanaman, terutama untuk marga Stapelia
dan bebera puluh marga sukulen lainnya yang hidup bak kaktus di habitat gurun
pasir Afrika dan Asia Tengah. Yang
paling spektakuler adalah Stapelia
gigantea dengan bau bunga bangkai serta ukuran bunga yang relatif besar
dengan garis tengah mencapai hingga 1,5 meter.
Kelompok marga lain yang tak
kalah menarik adalah kelompok epifit yang juga memiliki sifat sukulensi dan
struktur bunga yang menarik, yaitu Hoya yang tumbuh di kawasan Asia Tenggara
(Malesia) dan Australasia.
Sedangkan untuk kelompok semak
dan perdu, marga yang dikenal luas yaitu Widuri (Calotropis gigantea)
dan kembang moro seneng (Asclepias
currassavica).
Sebagai
tumbuhan obat, dikawasan India banyak dimanfaatkan tumbuhan rambat, terutama
dari puak Marsdeniae. Sedangkan yang
secara luas dimanfaatkan di kawasan Melayu
yaitu tarum (Marsdenia tinctoria)
INI pertelaan
dan penyajiannya belum standar
GENTIALES
Kopi-kopian (Rubiaceae)
Ina Erlinawati & Tika Dewi Atikah (Herbarium Bogoriense, Puslit
Biologi – LIPI)
Kopi merupakan salah satu genus
terbesar dari Rubiaceae, kurang lebih terdari dari 90 jenis dan hanya lima atau
enam jenis saja yang cocok di budidaya (Ferwerda, 1976). Kopi-Coffea L. berasal dari nama provinsi
di Abyssina yaitu Caffa (Grieve,2007). Afrika merupakan rumah berbagai jenis
kopi dan dari sini kopi di bawa para penjelajah ke seluruh dunia. Kopi liar
banyak ditemukan pada lapisan bawah hutan (understorey)
di Afrika, sebagai contoh Coffea canephora (kopi robusta) dapat
ditemukan di hutan dataran rendah dari Guinea sampai Uganda, sedangkan
keanekaragaman genetik C. arabica
(kopi arabika) terbatas di Barat Daya dataran tinggi Ethopia. Saat ini,
budidaya kopi sudah ada dimana-mana, contoh C. arabica terbatas hanya di dataran tinggi terutama di Papua New
Guinea, Indonesia, Vietnam, Philipina, Thailand bagian utara dan Burma
(Myanmar), sedangkan C. canephora banyak di budidaya di Indonesia,
Vietnam, India dan Afrika tengah.
Kedua jenis kopi di atas dapat
dibedakan dengan mudah. Kopi arabika berperawakan perdu atau pohon kecil dengan
tinggi 4-5 m dan apabila dibudidaya tingginya hanya mencapai 1,8-2,5 m, kopi
robusta merupakan pohon dengan tinggi 8-12 m dengan percabangan yang lebih fleksibel.
Daun kopi berhadapan, berpautan, berwarna hijau, licin, bagian permukaan
berkilau dan bagian bawah berwarna lebih tua serta lebih pucat. Daun penumpu
interpetiolar, hampir menyegitiga. Perbungaan simus berkelompok muncul di kedua
ketiak daun, berwarna putih, dan sangat dekoratif. Pada umumnya bunga kopi
tahan hanya sampai dua hari. Selain itu, setiap buku memiliki jumlah bunga
10-30 bunga (kopi arabika) dan 80 bunga (kopi robusta). Kelopak berbentuk
tabung dengan 4-5(-8) cuping, mahkota bunga bentuk tabung dengan 4-8 cuping;
benang sari melekat pada leher tabung mahkota, bebas; bakal buah terbenam
dengan 2 ruang masing-masing 1 bakal biji; tangkai putik membenang; kepala
putik bercabang dua. Buah pelok dengan kulit buah (eksokarp) berwarna merah
sampai hitam ketika matang, biasanya daging buahnya (mesokarp) berair dan
endokarp bertanduk dan biasanya terdiri dari dua batu, sisi pertama cekung dan
sisi yang satunya datar dengan garis alur yang panjang dan ditutupi oleh
lapisan seperti kertas tipis yang harus dihilangkan sebelum dimasak. Buah kopi
robusta lebih kecil (8-16mm) dibandingkan dengan kopi arabika (12-18 mm x 8-15
mm). Pada umunya kopi robusta lebih mudah tumbuh daripada kopi arabika dan
lebih banyak memiliki variasi morfologi.
Diantara perangsang yang non alkohol, kopi
menduduki peringkat pertama. Senyawa kafein dan senyawa volatile lainnya
memberikan rangsangan pada otak yang akan membuat kita tidak bisa tidur,
sehingga kopi memiliki nilai guna yang sangat tinggi untuk orang yang keracunan
obat bius; dalam kasus seperti ini biasanya kopi dimasukkan ke dalam rektum.
Selain itu, berguna untuk orang yang kena gigitan ular membantu mencegah
terjadinya koma. Di Sumatra tengah dan
barat masyarakat lebih menyukai daun kopi untuk membuat minuman dari pada
buahnya karena daun lebih banyak mengandung minyak volatile dan kafein. Di Asia
Tenggara, kopi dan ampasnya digunakan obat tradisional untuk mengurangi sakit
perut dan mencret, menaikkan tekanan darah dan diuretik serta penangkal racun.
Kopi juga sering digunakan sebagai pewarna atau pewangi makanan. Di Jawa kopi
sering digunakan untuk pengawet mayat agar tidak menimbulkan bau busuk. Selain
itu, kayu dan ampas kopi juga dapat digunakan sebagai pupuk (Vossen dkk., 2000
dan Sosef, 2000).
Perbanyakan kopi dapat dilakukan dengan biji atau dengan
okulasi atau stek batang. Kopi arabika satu-satunya kopi yang polyploid dan
terjadi pembuahan alami, sedangkan pada kopi robusta tidak terjadi pembuahan alami karena adanya
mekanisme self-incompatible, sehingga dilakukan perkawin silang (Ferwerda, 1976
dan Vossen dkk., 2000). Kopi tidak memiliki masa dormansi. Pada suhu ruangan
biji kopi hanya tahan 3-6 bulan. Apabila disimpan pada suhu 15oC
akan tahan 15 bulan (kopi robusta) dan 30 bulan (kopi arabika). Perkecambahan kopi
terjadi 6-8 minggu setelah semai. Kotiledon dan sepasang daun pertama muncul
setelah berumur semai 10-12 minggu. Setelah 7-9 bulan setelah semai (kopi
robusta) dan 11-15 bulan setelah semai (kopi arabika) mencapai tinggi 30-40 cm
maka anakan kopi siap untuk ditanam di lapangan. Pertumbuhan kopi sangat cepat
pada awal musim hujan serta panjang hari akan mempengaruhi perkembangan bunga.
Kopi arabika merupakan tumbuhan berumah satu dan terjadi polinasi alami (kurang
dari 10%) serta probabilitas untuk mendapatkan buah sangat tinggi. Buah matang
dalam 8-9 bulan (kopi arabika) dan 9-11 bulan (kopi robusta ).
Kopi nangka-C. liberiana adalah jenis kopi
lain yang memiliki rasa lebih pahit dan tidak sepopuler kopi arabika. Kopi ini
dinikmati hanya oleh kelompok tertentu di daerah sebelah selatan Peninsular
Malaya dan Sabah serta Afrika. Biasanya kopi ini diminum dengan gula yang
banyak dan ditambahkan susu untuk menambah cita rasa. Kopi ini dapat dicampur
dengan kopi lainnya atau dicampur dengan minuman lain untuk menambah rasa. Kopi
nangka sendiri merupakan tanaman asli dari daerah tropis Afrika bagian barat
dan tengah. Pada tahun 70-an kopi ini tidak banyak dibudidaya tetapi sekarang
ini budidaya sudah menyebar terutama di Guyana, Surinam, Bioko (Fernando Po), Sao
Tomé, Liberia, Malaysia dan Filipina, Sierra Leone, Ivory Coast, Nigeria, Congo
(Brazzaville), Mauritus, Sri Langka, India, Thailand, Vietnam, Taiwan, dan
Timor. Di Indonesia sendiri sempat dibudidaya secara intensive tetapi
tergantikan ketika ada jenis kopi robusta yang lebih tahan terhadap penyakit
daun (Sosef, 2000).
Kopi nangka merupakan pohon dengan tinggi 20 m;
cabangnya tidak berambut. Daun berhadapan dengan stipula interpetiolar
berbentuk segitiga-membundar telur hampir rompong. Pada dasar urat daun lateral
terdapat domatia. Perbungaan pada ketiak dan
berkelompok berjumlah 4-30(-50)
per ketiak. Buah batu dengan ukuran 1,2-2,2 cm x 0,9-1,6 cm, berwarna merah
atau kuning dengan bercak merah atau seluruhnya kuning.
Kopi nangka dapat tumbuh di hutan pamah sampai
hutan hujan pegunungan bawah, hutan alam, tepi hutan dan bahkan daerah terbuka,
mencapai 1300 m dpl. Di Malaysia dapat tumbuh sampai ketinggian 1200 m dpl, di
Filipina 900 m dpl. Kopi ini dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian yang
rendah, cuaca hangat dan lembab, ternaungi tetapi di Malaysia dapat tumbuh
dibawah cahaya matahari langsung. Tidak tahan terhadap genangan air, tetapi
dapat hidup di tanah yang miskin hara, dan asam. Di hutan pamah tropis kopi ini
tumbuh dengan baik dibandingkan dengan kedua kopi di atas. C. leberiana
kultiv.excelsa sangat teradapdasi pada lahan kering.
Sejumlah kultivar kopi yang dikenal diantaranya: Typica National, Bourbon, Mundo Novo, Caturra,
Blue Mountain, Maragogipe, sL 28, N 39, Kent, Padang, dan Blawan Pasumah.
Beberapa kultivar berasal dari hibrid interspesifik misalnya BA, Hibrido de
Timor, Geisha, Abyssinia dan Rume Sudan. Catimor (Caturra x Hibrido de Timor)
paling tahan terhadap penyakit daun, Icatu ( C. arabica x C.
canephora) x C. arabica juga tahan terhadap penyakit daun. Beberapa
kultivar robusta diantaranya BP dan SA
dari Jawa, S274 dan BR dari India, INEAC dari Kongo, dan IRCC dari Pantai
Ivory. Hibrid interspesifik seperti Congusta dar Jawa dan C X R kultivar dari
India (C.congensis x C. canephora) dan Arabusta ( C.
arabica x C. canephora) juga berpotensi untuk tumbuh di ketinggian
sedang sampai rendah. Sampai saat ini studi untuk mencari kopi bibit unggul
terus dilakukan.
Studi sistematik kopi masih sangat sedikit.
Monograph terakhir ada sebelum perang dunia kedua. Studi evolusi dengan
menggunakan pollen (Moens, 1962; Lobreau-Callen & Leroy, 1980), studi
molekular dengan kloroplast dan DNA mitokondria (Berthou dkk., 1983), fitokimia
(Clifford dkk., 1989; Anthony dkk., 1993) dan DNA inti (Cros dkk., 1995). Hasil
studi molekular dari kloroplas atau DNA dari beberapa jenis kopi menyatakan
bahwa semua jenis kopi adalah monofiletik. Hal ini terjadi karena proses
diferensiasi dari kelompok-kelompok kopi yang saling berhubungan tersebut,
bersamaan dengan daerah Afrika yang belum berkembang menjadi pemisah genetik
yang cukup kuat.
Kelompok tumbuhan lain yang
tergolong dalam suku yang sama Rubiaceae adalah Ixora yang umumnya dibudidayakan sebagai tanaman hias. Secara umum,
orang Indonesia menyebut Ixora dengan nama “soka”. Masyarakat Sunda menyebutnya
“ki soka”, sedangkan masyarakat Jawa menyebutnya dengan nama “areng-arengan”. Ixora beranggotakan ± 400 jenis dan tersebar di seluruh daerah
tropik. Kawasan Indo – Malesia merupakan kawasan yang memiliki jumlah jenis
terbanyak. Di Malesia terdapat sekitar 160 jenis. Jumlah jenis terbanyak yaitu
sekitar 65 jenis terdapat di Borneo dan kebanyakan dari jenis – jenis tersebut
adalah endemik.
Jenis
Ixora yang banyak ditanam orang adalah Ixora
chinensis Lamk dan Ixora javanica (Blume) DC. I. chinensis mempunyai perawakan yang
lebih pendek dengan ukuran daun yang lebih kecil bila dibandingkan dengan I.
javanica. Mahkota bunga I. chinensis berwarna oranye-merah atau
putih sedangkan I. javanica selain berwarna oranye merah, ada juga yang
berwarna merah muda atau kuning.
Ixora
chinensis Lamk. – Orang Indonesia
menyebutnya dengan nama “kembang soka”, ada juga yang menyebutnya “siantan”.
Tumbuhan ini tersebar di daerah Burma bagian selatan (Myanmar), Vietnam,
Semenanjung Malaysia, Borneo dan ditanam di Jawa, Filipina dan tempat – tempat
yang lain.
Tumbuhan ini berupa semak dengan
banyak batang, tinggi 2 m; daun bulat telur terbalik – memanjang, 6 – 10 cm x
2,5 – 5 cm, menjangat, pangkal membulat, menjantung atau kadang tumpul, ujung
tumpul, tangkai daun pendek, stipula berjanggut panjang; cabang perbungaan
berhadapan, berwarna merah; bunga dengan panjang tabung mahkota 3 – 3,5 cm,
cuping membundar hingga bulat telur terbalik, membundar pada ujungnya, 6 mm x 6
mm, berwarna oranye – merah atau putih (khusus untuk jenis yang ditanam), tidak
berbau harum; buah membulat berwarna hitam. I. chinensis dilaporkan umum terdapat di sepanjang aliran
sungai di Semenanjung Malaysia.
Akar I. chinensis mengandung turunan
iridoid yaitu ixoside (1,8-dehydroxyforsythide). Di Malaysia, cairan yang
diperoleh dari rebusan akar I. chinensis digunakan setelah melahirkan.
Di Filipina, seduhan dari bunga yang segar, dikatakan dapat melawan
tuberkulosis dan wasir. Seduhan daun digunakan untuk obat sakit kepala. Di
Indonesia, cairan yang diperoleh dari rebusan akar, digunakan untuk
menyembuhkan penyakit bronkus, sedangkan cairan yang diperoleh dari rebusan
bunga digunakan untuk melawan penyakit amenorrhoea dan tekanan darah tinggi. I.
chinensis secara luas dibudidayakan sebagai tanaman hias.
Adapula jenis Ixora javanica (Blume) DC. –
yang mempunyai nama umum “Ixora Jawa”. Tumbuhan ini tersebar di daerah Burma
(Myanmar) bagian selatan, Thailand, Semenanjung Malaysia, Sumatra, Jawa dan
Borneo.
Seperti I.
chinensis, I. javanica juga berupa semak, tetapi tinggi dapat
mencapai 3 – 5 m; daun ellips, melonjong hingga bulat telur melonjong,
berukuran 7,5 – 17 cm x 2,5 – 7 cm, menerna, pangkal runcing, ujung meruncing,
dengan 9 – 10 tulang daun, panjang tangkai daun 3 – 6 mm; stipula berjanggut
panjang; perbungaan renggang, berambut pendek, panjang tangkai bunga 1 – 4 cm;
bunga dengan panjang tabung kelopak 0,2 mm, cuping bulat telur, panjang 0,4 mm,
panjang tabung mahkota 2,5 – 3, 5 cm, cuping bulat telur, tumpul atau membulat,
panjang 6 – 8 mm, berwarna oranye – merah, kadang – kadang merah muda atau
kuning, tidak berbau harum; kepala sari berwarna oranye pucat, panjang tangkai
sari 5 mm; buah berukuran sebesar pea.
I. javanica umum terdapat di hutan bertanah subur di Jawa.
Belum ada laporan mengenai kegunaan tumbuhan ini dalam dunia pengobatan, tetapi
ekstrak tumbuhan tersebut menunjukkan aktivitas anti tumor. Senyawa yang
bertanggung jawab dalam mempengaruhi pertumbuhan tumor tersebut, diidentifikasi
sebagai asam ferulic ( asam 4-hydroxy-3-methoxyinnamic) dan isomernya yaitu
asam 3- hydroxy-4-methoxyinnamic. I. javanica banyak ditanam sebagai tanaman hias.
Jenis
Ixora di Malesia, secara umum hijau sepanjang tahun, berupa semak atau pohon,
berukuran kecil hingga terkadang berukuran besar, tinggi mencapai 25 m; kulit
kayu halus, berlentisel, bercelah atau bersisik, berwarna coklat keabuan. Daun
berhadapan atau terkadang dalam lingkaran 3, sederhana, rata, berbentuk ellips
hingga menggaris, menerna hingga menjangat, pangkal biasanya mengerucut atau
membaji, ujung membulat; stipula mengerucut pada pangkalnya, menjantung atau
dengan duri panjang. Perbungaan dalam bentuk malai korimbosa atau korimbosa
terminal, berkelipatan 4, tangkai bunga pendek dengan perbungaan yang tegak,
satu perbungaan biasanya terdiri atas 45-300 bunga. Bunga biasanya berkelompok
3, biseksual, berkelipatan 4, berbau harum atau tidak, protandri; kelopak
terbagi hingga pangkal; mahkota dengan tabung silindris, cuping terpilin dalam
tunas, biasanya berwarna putih tetapi kadang – kadang berwarna merah muda,
kuning atau merah. Benang sari tersisip pada kerongkongan mahkota dengan
tangkai yang pendek, kepala sari dorsifixed, memata panah atau terkeluk batik
(reflexed); bakal buah inferior, 2(-3) rongga dengan 1 bakal biji tiap ruang,
tangkai berbentuk benang, menjulur dari tabung mahkota, bagian yang menjulur
tidak lebih panjang dari cuping mahkota; kepala putik bercuping 2, cuping
memita dan mengerucut terbalik. Buah membulat hingga pelok bercuping 2,
diameter 5 – 15 mm, buah yang masak berwarna merah kemudian berubah menjadi
hitam, dengan 1 – 2 pyrene; pyrene terdiri atas 1 biji, berdinding tipis, plano
– conveks. Biji dengan selaput biji yang tipis, seluruhnya endosperma.
Perkecambahan secara epigeal; kotiledon berdaun , berwarna hijau.
Jenis Ixora biasanya hidup pada dataran rendah dan
hutan pegunungan rendah hingga ketinggian 1700 m alt. Beberapa jenis juga
ditemukan di lokasi berlumpur, di sungai atau terkadang juga di sawah (misalnya
I. grandifolia Zoll. & Moritzi.)
Beberapa Ixora digunakan dalam
pengobatan tradisional, misalnya sebagai obat untuk menghentikan pendarahan dan
juga untuk mengobati penyakit disentri serta tuberkulosis. Beberapa jenis
(misalnya I. coccinea L.) memperlihatkan aktivitas antitumor dan anti
mutagenik. Buah I. phillipinensis Merr. enak dimakan. Selain itu, kayu
Ixora kadang digunakan untuk pembuatan tongkat jalan dan juga untuk tiang
rumah. Beberapa jenis Ixora dikenal sebagai tanaman hias (sebagai contoh I.
chinensis Lamk., I. coccinea L., I. javanica (Blume) DC.)
yang sering ditanam di kebun, taman dan sepanjang sisi jalan.
Perbanyakan Ixora dilakukan dengan biji, meskipun
untuk jenis – jenis yang digunakan sebagai tanaman hias, perbanyakan dilakukan
dengan stek.
Perbungaan Ixora adalah musiman
tetapi untuk jenis – jenis Ixora yang dibudidayakan, dapat berbunga sepanjang
tahun. Penyerbukan dilakukan oleh rama – rama atau kupu - kupu yang menghisap
madu pada pangkal mahkota bunga. Selain itu, kumbang juga mengunjungi Ixora
terutama yang mempunyai bunga berwarna kemerahan. Biji disebarkan oleh burung –
burung pemakan buah.
Rubiaceae mencakup tumbuh –
tumbuhan berupa herba, terna, pohon dan terkadang juga tumbuhan memanjat. Daun
berhadapan, stipula interpetiolar. Bunga biseksual, teratur, berkelipatan 4 –
5, dalam malai sederhana atau tidak. Tabung mahkota panjang atau pendek,
bercuping 4 hingga 5. Benangsari sebanyak cuping mahkota Bakal buah inferior,
2(-3) rongga dengan 1 bakal biji tiap ruang. Buah kapsul (Tribus Cinchoninae),
baka (Tribus Gardeniinae) atau pelok (Tribus Guttardinae dan Tribus
Psychotriinae). Embrio besar, kaya endosperma.
Rubiaceae merupakan suku
tumbuhan yang sangat besar, terdiri atas 400 marga, baik di daerah subtropik
maupun tropik. Hampir 70 marga merupakan tumbuhan asli Malaya.
CORE ASTERID
EUASTERID I
lAMIALES
Gesneriaceae
Abdulrokhman Kartonegoro (Herbarium Bogoriense, Puslit Biologi – LIPI)
African Violet – Saintpaulia ionantha Wall. cukup dikenal oleh para peminat tanaman
hias di Indonesia. Tumbuhan herba ini sangat indah dan bagus sebagai tanaman
hias dengan bunganya yang beraneka warna mulai dari biru keunguan sampai merah
muda keputihan. Tumbuhan ini sebenarnya berasal dari Afrika Timur namun sudah
diintroduksi cukup lama di Indonesia. Umumnya banyak orang menanam dalam
pot-pot rumahan. Sama halnya dengan Gloxinia – Siningia speciosa (Lodd.) Hiem. yang juga tanaman introduksi dan
banyak dimanfaatkan sebagai tanaman hias. Berbeda dengan Saintpaulia ionantha, Siningia
speciosa merupakan tumbuhan asli dari Amerika dan khas sebagai tumbuhan
subtropis. Siningia speciosa memiliki
bunga yang berwarna merah, ungu atau putih. Keduanya saat ini banyak ditemui
dalam bentuk-bentuk hibrid yang diperjualbelikan.
Saintpaulia ionantha dan Siningia
speciosa adalah dua jenis tumbuhan yang berperawakan herba yang sangat
unik. Keduanya memiliki susunan daun yang berhadapan, namun Saintpaulia ionantha mempunyai susunan
roset sedangkan Siningia speciosa
tidak. Umumnya daun keduanya tebal dan berbulu-bulu halus baik panjang maupun
pendek dengan tepi yang agak bergerigi. Sama halnya dengan helaian daun,
tangkainyapun memiliki bulu-bulu halus. Perbungaan soliter atau dalam karangan
yang tumbuh di ketiak daun. Bunga-bunga yang indah itu memiliki kelopak
berlekatan dengan ujung meruncing. Mahkota bunga yang berwarna berbilangan 5-6
yang berbentuk lonceng atau tabung yang setangkup, namun Siningia speciosa tampak agak simetri. Bunga setangkup yang
berbentuk lonceng atau tabung ini tampak jelas berbibir dan sangat mudah
dikenali. Benang sari biasanya berjumlah 4-5 atau sama dengan jumlah bilangan
mahkotanya, dengan ukuran tangkai sari yang tidak sama besar. Benang sari ini
menempel pada tabung mahkota dan juga beberapa ada yang steril dalam bentuk
staminodium.
Kedua jenis tersebut sangat
umum pada beberapa daerah di Asia Tenggara sebagai tanaman hias rumahan.
Tingginya permintaan para peminat tumbuhan hias mulai memasyarakatkan tumbuhan
tersebut. Keduanya sangat mudah dicirikan karena memiliki warna dan bentuk yang
khas sehingga mudah dikenali. Namun pada beberapa waktu lalu untuk Siningia speciosa dikenal sebagai marga Gloxinia, padahal nama Gloxinia saat ini
digunakan sebagai nama jual Siningia
speciosa. Kajian taksonomis untuk permasalahan ini belum pernah dilakukan.
Selain kedua jenis tanaman hias
di atas, juga dikenal tumbuhan hutan berbentuk perdu Cyrtandra pendula Blume. Tumbuhan ini banyak tumbuh dibeberapa
pegunungan di Jawa Barat. Beberpapa
masyarakat lokal banyak menggunankan daunnya sebagai penyedap rasa makanan.
Tumbuhan ini memiliki susunan daun berhadapan yang mengumpul di ujung batang
dan umumnya tidak sama besar pada tiap pasangannya. Batangnya persegi dan
berbulu. Perbungaannya pada ketiak daun pada pasangan daun yang sama. Sama
halnya dengan tanaman hias sebelumnya, bunganya setangkup, bentuk lonceng
dengan mahkota yang berwarna putih, melebar pada ujungnya serta berbulu lebat.
Benangs sari 4-5 dengan 2 yang fertil serta 2-3 staminodia, menempel pada
mahkota. Umumnya tumbuh dalam bentuk perdu yang merambat di hutan-hutan basah
pada ketinggian 350-650 mdpl. Selain itu, kerabatnya Cyrtandra picta Blume juga hamper memiliki perawakan yang sangat
mirip, hanya saja jenis ini memiliki mahkota bunga yang berwarna putih atau
merah muda dengan bercak-bercak ungu. Susunan daun C. picta tidak mengumpul
di ujung batang dan sama besar. Bentuk perawakannya juga merambat atau
kadang-kadang tegak. Jenis ini sangat luas persebarannya dibandingkan C. pendula
karena mencakup Jawa, Sumatra dan Sulawesi dengan wilayah ketinggian 320-2400
mdpl dan sangat umum di hutan-hutan pegunungan. Persebaran yang luas pada C. picta
memungkinkan tingginya variasi bentuk morfologi dan dipisahkan pada dua
varietas yaitu C. picta var. picta serta C. picta var. repens (de Vriese) Bakh. f..
Gesneriaceae mewadahi tetumbuhan yang berbentuk herba,
terna, pohon kecil dan pemanjat; terrestrial atau epifitik. Susunan daun
umumnya berhadapan, jarang yang berseling, beberapa jenis roset atau mengumpul
pada ujung batang. Tiap
pasangan daun ada yang sama besar dan ada yang tidak sama besar. Daun dengan
ujung meruncing, tepi rata sampai bergerigi dan pangkal tumpul atau menjantung.
Helaian daun umumnya tebal dan memiliki bulu-bulu yang halus. Daun bertangkai
dan tanpa daun penumpu. Bunga soliter atau dalam karangan, mencolok, banci,
setangkup. Letak bunga dapat di ketiak daun atau di ujung daun. Bentuk bunga tabung, lonceng atau seperti
terompet. Kelopak berkelipatan 5 dan berlekatan, mahkota berkelipatan 5-6,
berbibir, berwarna. Benang sari 4-6, kadang melekat pada mahkota, separuh
panjang dan separuh lagi pendek. Pada beberapa jenis separuh benang sari steril
menjadi staminodia. Bakal buah menumpang atau sebagian tenggelam dengan 2 daun
buah, 1 lokul dengan plasentasi parietal. Buah kapsul atau buni dengan biji tak
terhingga.
Bagi sebagian orang yang sering berjalan-jalan di hutan-hutan pegunungan
seperti Cibodas akan sering menjumpai salah satu jenis tumbuhan pemanjat atau
epifit dengan bunga berwarna merah mecolok. Umumnya bunga merah ini menjulur ke
atas seperti saksofon atau tabung pada ujung batang serta ketiak daun. Tumbuhan
ini memanjat jelas pada pohon-pohon besar dan pertumbuhannya sangat berlimpah
pada hutan yang masih bagus. Tumbuhan ini adalah Aeschynanthus radicans Jack yang banyak terdapat di hutan-hutan
pegunungan di Jawa dan Sumatra. Daun pada jenis ini tumbuh berhadapan, sama
besar dan membundar telur serta tebal. Kelopak bunganya berlekatan dan menutupi
tabung mahkota hampir separuhnya. Benang sari berjumlah 4 dengan 2 panjang dan
2 pendek, menjulur panjang keluar tabung mahkota. Jenis ini sangat bervariasi
dalam hal morfologi karena luas persebarannya. Jenis lain yang sangat dekat
kekerabatannya adalah A. pulcher (Blume) G.Don, namun dalam
beberapa studi terakhir jenis ini dimasukan dalam varietas A. radicans karena
perbedaannya hanya merupakan variasi morfologi dalam jenis. Masyarakat lokal
biasa menggunakan tumbuhan ini sebagai obat sakit kepala dimana daunnya
dibalurkan pada kening.
Gesneriaceae
termasuk suku tumbuhan
dikotil yang relative besar dan mewadahi sekitar 150-160 marga dengan jumlah
jenis sekitar 3200 atau lebih. Cyrtandra adalah
marga dengan jumlah jenis terbesar. Persebaran suku ini sangat luas mencakup
wilayah pantropik maupun beberapa daerah subtropik. Daerah persebaran subtropik
meliputi Eropa, Himalaya, Cina dan Australia bagian selatan. Sangat umum banyak
ditemukan di daerah hutan-hutan pegunungan yang lebat sebagai herba kecil,
terna atau pemanjat. Wilayah Asia Tenggara merupakan daerah yang cukup tinggi
akan suku ini. Secara keseluruhan suku ini sangat mudah dikenali melalui
ciri-ciri tumbuhan herba atau pemanjat yang memiliki daun tebal berhadapan.
Bunganya berbentuk lonceng atau tabung, setangkup dan kelopaknya berlekatan.
Bentuk benang sari yang separuh panjang
dan separuh pendek juga dapat digunakan sebagai pengenal. Umumnya baik daun
maupun bunga berbulu halus, terutama bagian daunnya. Bentuk bunga tabung atau
lonceng serta mahkota yang berbibir memasukan suku ini pada ordo Tubiflorae
atau Lamiales. Beberapa suku lain yang agak mirip dengan Gesneriaceae adalah Bignoniaceae,
Acanthaceae dan Scrophulariaceae. Nilai ekonomis yang sangat jelas adalah sebagai
tanaman hias di berbagai tempat.
CORE ASTERID
EUASTERID I LAMIALES
MENTOL-MENTOLAN
(LAMIACEAE/LABIATAE)
Sudarmono (Pusat Konservasi Tumbuhan-Kebun Raya Bogor, LIPI)
Yulianty (Universitas Lampung)
Kumis kucing (Orthosiphon
spicatus) yang mempunyai banyak nama seperti O. aristatus (BL.) Miq.; O.
gramineus Bold; O. stamineus
Benth.; O. longiflorum Ham.; O. grandiflorum et. aristatum BL. O. spiralis
Merr. dll. Kumis kucing merupakan suatu tumbuhan terna dan berbatang tegak.
Dikenal dengan berbagai istilah seperti : kidney tea plants/java tea (Inggris),
giri-giri marah (Sumatera), remujung (Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan
se-salaseyan; songkot koceng (Madura). Tanaman ini berasal dari wilayah Afrika
Tropis kemudian menyebar ke wilayah Asia dan Australia. Untuk membedakan kumis
kucing dengan marga lainnya dari suku Labiatae dapat dilihat dari tangkai
putiknya yang ginobasis yang dapat mencapai bakal buah atau adanya stamen yang
letaknya menurun (descending). Ciri ini terdapat juga pada marga Ocimum (kemangi). Sedang pada marga Mentha, Leucas dll, stamen letaknya menaik (ascending).
Daun kumis kucing dapat digunakan untuk melancarkan
air seni. Untuk dimanfaatkan sebagai obat, sebaiknya daun kumis kucing dapat
dicampur dengan daun atau bahan-bahan yang lain agar daya kerjanya dapat
ditingkatkan. Daun kumis kucing dapat ditambah dengan daun meniran (Phyllanthus niruri).
Daun kumis kucing basah maupun kering
digunakan sebagai bahan obat-obatan. Di Indonesia daun yang kering dipakai
sebagai obat yang memperlancar pengeluaran air kemih (diuretik), sedangkan di
India untuk mengobati reumatik. Masyarakat menggunakan kumis kucing sebagai
obat tradisional sebagai upaya penyembuhan batuk, encok, masuk angin dan
sembelit. Daun tanaman ini juga bermanfaat untuk mengobati radang ginjal,
kencing manis, albuminuria, dan penyakit syphilis. Deskripsi dari tanaman ini merupakan tanaman
terna yang tumbuh tegak, tinggi dapat mencapai 2 m. Batang dan cabang bersegi
empat dan beralur. Helai daun bulat telur, lanset, dengan ujung daun lancip
atau tumpul. Panjang daun 1-10 cm, dan lebar 7,5 mm – 1,5 cm. Permukaan daun
berbintik-bintik karena ada kelenjar minyak atsiri. Bunga berupa tandan yang
keluar di ujung cabang, warna ungu atau ungu keputihan. Kelopak bunga
berkelenjar, bersatu membentuk tabung, 5 lobus, kadang-kadang berbibir dua,
umumnya persisten; mahkota bunga bersatu membentuk tabung, 5 lobus sangant
zigomorf, berbibir dua. Stamen 4 didinamus. Ovarium superus, 2 karpel yang
terbagi menjadi 4 lobus ovarium yang bisa lepas dan hanya disatukan oleh stilus
yang ginobasis atau 4 lobus dengan stilus tidak sampai ginobasis, ovule (bakal
biji) 1 tiap lobus ovarium.
Labiate ada yang memasukkannya ke dalam bangsa
Tubiflorae. Dimasukkannya suku ini didasarkan pada perhiasan bunga yang bersatu
membentuk tabung, aktinomorf, kalik dan korola yang berbilangan lima, stamen
berbilangan lima, bakal buah menumpang. Namun demikian pada suku
Labiatae/Lamiaceae cenderung memiliki ciri yang banyak berbeda dengan suku-suku
yang masuk ke dalam bangsa Tubiflorae sehingga suku ini dikeluarkan dari bangsa
Tubiflorae. Kecenderungan pada suku Labiatae ini mempunyai perkembangan dari
kalik dan korola (perhiasan bunga) yang bersifat zygomorf, pengurangan stamen
dari 5 menjadi 4 atau 2. Reduksi dari jumlah bakal biji dalam ruang bakal buah,
sehingga bakal buah terbagi dalam 4 bagian yang masing-masing dengan 1 bakal
biji tiap lobus atau ruang bakal buah.
Dari asal kata Labiatae, yang artinya berbibir
menunjukkan simetri pada bunga. Tajuk bunga (mahkota bunga atau corolla) yang
zigomorf, yaitu hanya dapat dibuat satu bidang simetri saja yang membagi bunga
tadi menjadi dua bagian yang setangkup sehingga tepinya merupakan dua bibir.
Ciri lain yang termasuk dalam suku Labiatae yaitu
termasuk dalam bunga majemuk gubahan semu atau karangan semu (Verticillaster),
jika pada bunga ini tampak ibu tangkainya berbuku-buku dan pada buku-bukunya terdapat
sejumlah bunga yang tersusun berkarang (melingkari buku-buku tadi). Tetapi
sesungguhnya pada ibu tangkai yang sama tinggi ada beberapa cabang yang
masing-masing cabang itu merupakan suatu anak payung. Selain itu, pada suku
Labiatae terdapat benang sari panjang dua (didinamus) artinya pada bunga yang
mempunyai 4 benang sari, terdapat 2 yang panjang dan dua lainnya pendek.
Mentol-mentolan termasuk suku tumbuhan yang besar
yang terdiri kira-kira 200 marga. Ciri khas dari tanaman kumis kucing adalah adanya
batang yang bersegi empat, dengan perhiasan bunga berbibir. Jenis kumis kucing
mempunyai ciri yang sama dengan Ocimum
basilicium (kemangi). Kedua jenis tumbuhan tersebut mempunyai stamen yang
letaknya menurun dan stilus atau tangkai putik letaknya lebih dalam bahkan
mencapai dasar dari ginaesium. Sifat-sifat tersebut tidak dimiliki oleh marga Cymaria, Acrymia. Untuk mengidentifikasi keluarga Mentol-mentolan atau
dikenal dengan bahasa Latin Labiatae atau Lamiaceae, maka perlu melihat ciri
khas pada bunganya berbibir (labium), daun berhadapan, batangnya yang berbentuk
segiempat. Namun dari batang tersebut juga dimiliki oleh kerabat dekat
familinya yaitu Verbenaceae (Keluarga Tembelek-tembelekan). Perbedaanya
terletak pada bunganya dimana pada Keluarga Mentol-mentolan ini mempunyai
struktur bunga simetri dua arah dan terdapat lembar mahkota (bibir) atas dan
bawah. Pada bunga keluarga Tembelekan cenderung berbunga
simetri ke segala arah.
Scutellaria berasal dari bahasa Latin Scutell atau
perisai. Ciri-cirinya bunga berbentuk seperti perisai dan pada bagian atas
kelopak bunga terdapat braktea atau daun pelindung. Di Indonesia, Scutellaria
diperkirakan hanya ada 3 jenis (Steenis, 1978), yaitu S. discolor, S. indica
dan S. javanica.
Scutellaria discolor berbeda dengan jenis Scutellaria
lain seperti S. indica dan S. javanica yaitu bunga umumnya
majemuk 3 jarang 2 atau 4 bunga. S. indica berbunga biasanya 2 namun
panjang kelopaknya 1-1,5 mm. Pada S. javanica meskipun berbunga 2 namun
panjang kelopaknya 3-4 mm.
Nama daerah berbeda-beda seperti; jawer kotok,
kipahit, beungbeureuman tangkal, daun kukuran, tjawir kotok hutan (Jawa Barat);
nilam bukit, toma (Madura); amperu lemah, jarongan lampesan (Jakarta); daun
kukur, hutan alosu, majana kusu (Maluku). Kegunaannya yaitu untuk mengobati
sakit pinggang (Heyne, 1987).
Scutellaria discolor mempunyai 2 varitas yaitu var. discolor
dan var. cyrtopoda. Scutellaria discolor varitas discolor
mempunyai ciri-cirinya; herba kecil, biasanya 20-50 (-100) cm. Batang berambut
panjang (hirsute), jarang bercabang. Daun menyelaput, menyilang elip sampai
membundar jarang bundar, 4-6 (-11) cm pjg dan 2,5-5 (-10) cm lbr, kadang-kadang
lebih kecil, tumpul atau membundar, bagian dasar seringnya membundar sampai
berbentuk jantung, tepinya beringgit, gundul atau jarang berbulu balig pada
permukaan keduanya, tangkai daun 1-2 (atau lebih) cm berambut panjang. Bunga
pada ujung perbungaan sederhana mirip tandan 10-15 cm pjg; 3 (kdg-2 2 atau 4)
bunga agak terpusar tersusun pada pusaran yang bukan satu bidang. Warna mahkota
biru, biru pucat, ungu muda dan ungu tua.
Varitas discolor ini tersebar luas di
kepulauan Asia Tenggara (dari Deccan ke Assam, Nepal, Birma, Thailan,
Indo-China, dan China Barat Daya; Yunnana); di Malesia: Semenanjung Malaya,
Jawa, P. Bawean, P. Selat Sunda (Kangean, Lombok, Flores, Sumba, Sumbawa, Alor,
Wetar, Timor), Maluku (Seram, Ambon), dan New Guinea.
Tumbuh pada ketinggian 500-3200 m di sepanjang
lahan rumput, teduh dan tempat lembab pada hutan basah, jalan setapak hutan,
batuan basah pada jurang, di Sumbawa pada hutan dipterokarp dataran rendah, di
hutan Ek, di Timor pada batuan kapur hutan Podokarpus; dari dataran rendah
sampai sekitar 2400 m dpl pada ketinggian rendah di pulau-2 kecil maupun besar.
Berbunga pada bulan Januari sampai Desember.
Scutellaria discolor varitas cyrtopoda termasuk salah
satu tumbuhan endemik di P. Jawa yaitu terdapat di G. Malabar sampai G. Jang.
Tumbuh pada ketinggian 1600-3200 m dpl. Tumbuhan ini mempunyai ciri-ciri
batangnya berambut kelenjar padat, daunnya merontal, bundar dan bundar lebar
dengan kisaran panjang dan lebar 3,5-5 dan 2-4 cm. Varitas ini berbunga pada
bulan Januari sampai Desember.
EUASTERID
II
APIALES
APIACEAE
Agung Sedayu (Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Jakarta)
Seledri (Apium
graveolens L.) merupakan tumbuhan terna (herba) dua-tahunan (biennial), tegak, bercabang berulang,
gundul, dengan tinggi 25—90 cm, dengan akar tunggang berbentuk menggelondong
atau mengumbi. Batang membuluh, menyudut, beralur jelas, dan merusuk memanjang.
Daun meroset saat muda, dengan tangkai yang panjang, majemuk menyirip atau
berdaun tiga, daun lebar dengan pangkal yang membaji, bercuping-tiga hingga
berbagi-tiga, bertangkai anak. Perbungaan payungan dengan banyak bunga majemuk,
duduk atau atau dengan tangkai yang pendek, terminal atau berhadapan daun;
tangkai anak utama dengan jumlah 5—15, sepanjang 1-3 cm; tidak ada daun
pembalut; payungan dengan 6—25 bunga; bunga hermaprodit, berkelipatan-5, putih
atau putih kehijauan; tangkai anak sekunder dengan panjang 2—3 mm, tanpa cuping
kelopak; mahkota berdiameter 0,5 mm. Buah skizokarp, pecah menjadi 2 mericarp,
masing-masing dengan panjang 1,5 mm dengan 5 rusuk berwarna cerah.
Seledri
adalah tumbuhan biennial
yang berasal dari daerah sedang, namun ditanam secara semusim (1 tahun) untuk
daunnya. Siklus hidupnya dapat selesai dalam waktu setahun jika dalam
pertumbuhannya terekspos pada suhu rendah. Karena berasal dari daerah beriklim
sedang, di Indonesia tumbuhan ini biasa ditanam di tempat-tempat berhawa sejuk.
Bentuk liar seledri
sebenarnya adalah tumbuhan rawa halofil. Asal usul ini menjelaskan mengapa
pada jenis-jenis yang dibudidayakan membutuhkan banyak air dan dapat hidup pada
tanah bergaram.
Sejarah budidaya seledri merupakan sejarah
peradaban manusia yang unik. Jenis ini secara paralel dikembangkan oleh dua
kebudayaan yang sama sekali tidak berhubungan. Di barat seledri dibudidayakan
di Eropa jauh sebelum masehi, pertama-tama sebagai tumbuhan obat, kemudian
sebagai bumbu masak. Perkembangan selanjutnya adalah budidaya bentuk khusus
yang memiliki tangkai daun yang besar dengan rasa yang lebih lemah dan cocok
digunakan sebagai sayur (seledri tangkai
= A. graveolens var. dulce). Bentuk ini pertama kali
dikembangkan di Prancis dan Italia. Bentuk lain yang juga dikembangkan di Eropa
adalah seledri dengan batang (umbi)
yang menggembung (A. graveolens var. rapaceum). Batang yang sebenarnya
berasal dari hipokotil, batang dan akar tunggang inilah yang dipanen, bukan
daunnya. Di benua lain, di Cina, juga dikembangkan paling tidak sejak abad
ke-6. Bentuk yang dikembangkan di Cina lebih mirip dengan seledri yang ada di Indonesia, yang dipanen terutama untuk daunnya
(seledri daun = A. graveolens var. secalinum).
Nama Indonesia untuk tumbuhan ini, seledri,
menunjukkan bentuk yang umum terdapat di Indonesia paling mungkin berasal dari
Eropa, sesuai dengan nama yang umum dipakai di Eropa (celery = Inggris). Sekarang ini seledri
memiliki penyebaran hampir di seluruh dunia, di daerah sedang dan daerah
tropis.
Di Indonesia seledri
digunakan umumnya sebagai bumbu masak, tidak sebagai bahan utama sayuran.
Sebagai bumbu, seledri digunakan
segar atau dikeringkan terlebih dahulu. Di Eropa, seledri yang lebih diminati adalah dari varietas dulce, yang menghasilkan tangkai daun
yang sangat besar, yang justru digunakan sebagai bahan utama sayur, bukan
sekedar bumbu. Selain itu A. graveolens
var. rapaceum biasa digunakan untuk
sup atau salad. Di India, seledri
dengan tipe yang khusus dikembangkan untuk memperoleh minyaknya yang berharga
untuk industri parfum. Beberapa kebudayaan menggunakan seledri sebagai bahan
pengobatan, terutama sebagai bahan diuretik, mengatasi demam berdarah, rematik
dan peluruh haid (Susiarti & Siemonsma 1994).
Suku Apiaceae juga dikenal dengan nama Umbelliferae,
dengan tumbuhan berupa terna (herba) hingga liana, atau pohon, biasanya
aromatik. Ruas batang sering berongga; dilengkapi dengan saluran sekretori yang
menghasilkan minyak ethereal dan resin, saponin triterpenoid, kumarin,
poliasetilen falkarinon, monoterpen dan sesquiterpen; dengan senyawa umbelliferose (berupa trisakarida)
sebagai produk karbohidrat cadangan. Daun berseling dan spiral, tunggal atau
majemuk menyirip atau majemuk menjari, sering bercuping atau berbagi sangat
dalam, tepi rata atau menggergaji, dengan venasi menyirip atau menjari; tangkai
daun biasanya berupih; daun penumpu ada atau tidak. Perbungaan berbatas,
membentuk payungan yang tersusun dalam payungan, tandan, bulir atau malai,
kadang berupa bongkol, biasanya didukung oleh daun pembalut, terminal. Bunga
dapat biseksual atau uniseksual, biasanya aktinomorfik, kecil. Mahkota biasanya
5, jelas, sangat tereduksi. Mahkota biasanya 5, kadang lebih, namun muncul dari
sebuah cincin primordial, kadang jelas berlekatan, menyirap hingga mengatup.
Benang sari 5, kadang banyak; tangkai sari jelas; serbuk sari biasanya
trikolpat. Daun buah 2—5, kadang banyak, berlekatan; bakal buah tengelam,
biasanya dengan plasentasi axilar; tangkai putik membengkak di pangkalnya dan
membentuk kelenjar madu di atas bakal buah; kepala putik biasanya 2—5, kecil,
mementol hingga rompang, atau memanjang.Buah pelok dengan 2—5 biji, atau
skizokarp, segmen yang kering (merikarp) kadang menempel pada tangkai
(karpofor), sering dengan kanal minyak memanjang; endosperma dengan asam
petroselenik (Judd dkk. 2002).
Apiaceae tersebar hampir kosmopolitan dari daerah
tropis hingga daerah sedang. Klasifikasi APG II mengelompokan Apiaceae dalam
Apiales salah satu anggota clade core
asterid. Apiaceae dalam sistem APG merupakan gabungan suku Apiaceae dan
Araliaceae (termasuk Aralia, Schefflera,
Dendropanax, Hedera, Panax, Tetrapanax), sehingga merupakan kelompok dari
kurang lebih 460 marga dan 4250 jenis tumbuhan. Saudara terdekat Apiaceae
adalah suku Pittosporaceae, dengan karakter sama-sama bersaluran minyak
ethereal/resin, susunan akar sampingnya, adanya senyawa poliasetilen
falkarinon, embrio kecil dan daun kecil mirip daun gagang di pangkal tunas
(Judd dkk. 2002, APG 2003, Plunkett dkk. 1996).
Selain seledri, banyak marga dari suku Apiaceae
yang umum terdapat di Indonesia dan akrab digunakan sebagai sayuran dan bumbu masak, seperti Carum (caraway = jintan/jemuju),
Coriandrum (ketumbar), Cuminum (cumin = jintan hitam), Daucus (wortel), Foeniculum (adas), Pastinaca (parsnip = semacam
wortel), Petroselinum (parsley =
peterseli), Anethum (dill),
atau Pimpinella (anise = adas manis). Seluruh jenis ini
dibawa oleh orang Eropa. Beberapa marga merupakan tumbuhan yang memiliki
potensi obat, seperti pegagan (Centella)
merupakan yang potensial sebagai peluruh air seni (diuretik), anti kuman dan
anti tekanan darah tinggi. Beberapa marga lainnya beracun, dan yang lainnya
dimanfaatkan sebagai tumbuhan hias.
ASTERALES
Perlu diperbaiki dengan susuna penulisan
yang distandarisasi
ASTER-ASTERAN
(ASTERACEAE/COMPOSITAE)
Sri Sudarmiati Tj (Jurusan Biologi IPB)
Asteraceae atau Compositae adalah suatu suku tumbuhan yang jumlah jenisnya terbanyak
di antara tumbuhan berbunga
(Angiospermae), mempunyai 1317 marga dan 21 000 jenis. Banyaknya jenis pada suku
Asteraceae ini hanya tertandingi oleh Orchidaceae (795 marga, 17500 jenis) dan
Leguminosae (657 marga, 16400 jenis). Mempunyai persebaran luas hampir terdapat
diseluruh benua, kecuali benua Antartika..
Umumnya berhabitus herba, semak, jarang yang berupa pohon atau tumbuhan
memanjat. Satu-satunya jenis pohon dari suku Asteraceae yang ada di Indonesia
adalah Vernonia arborea, lainnya
berupa herba dan beberapa jenis berhabitus semak. Kadang-kadang mempunyai
getah, getah bening atau getah latek, seperti susu. Mudah dikenali dari bentuk
bunganya. Bunganya spesifik tidak ditemukan pada suku lain, selain Asteraceae.
Bunganya bunga majemuk disebut bunga bongkol atau bunga cawan, dikenal sebagai head flower atau capitulum. Bagian terluar bunga ini terbungkus oleh suatu
braktea, daun pelindung yang disebut sebagai phylary dan keseluruhan daun pelindung yang membungkusnya disebut
sebagai daun pembalut atau involucre.
Bunga Asteraceae dapat dikelompokkan dalam 2 kelompok besar yakni yang berbunga
satu macam atau homogamus hanya
mempunyai satu macam bunga, yakni bunga uniseksual baik itu berupa hanya bunga
betina saja, atau bunga jantan saja, juga dapat hanya mempunyai bunga biseksual
saja.. Sedangkan bunga heterogamus mempunyai dua macam bunga baik bunga
uniseksual (bunga betina) maupun
biseksual, juga dapat berupa bunga steril dan bunga biseksual. Ada dua macam
tipe bunga, disebut sebagai bunga tepi atau bunga pita sering disebut sebagai
bunga pinggir karena letaknya disepanjang tepi cawan bunga, bentuk mahkota seperti
pita atau lidah lidah. Sedangkan bunga tabung terletak ditengah
cawan bunga, kecil-kecil berbentuk tabung, biseksual dan dapat menghasilkan
buah. Buahnya buah kurung atau buah longkah (achene), yaitu buah berbiji satu, tidak pecah, dinding buah tipis,
berdampingan dengan kulit biji tapi tidak berlekatan. Ujung atasnya terdapat
rambut-rambut yang disebut papus.
Jenis-jenis tumbuhan suku Asteraceae dapat
dimanfaatkan untuk berbagai macam keperluan antara lain, untuk obat, makanan,
bahan pewarna, insektisida. Banyak jenis Asteraceae merupakan jenis-jenis
tanaman hias penting atau dimanfaatkan untuk bunga potong. Jenis yang sangat
popular untuk diambil minyaknya dari biji adalah bunga matahari (Helianthus annuus L.), bijinya
mengandung protein tinggi dan sering dimanfaatkan untuk pembuatan kuaci. Jenis yang daunnya dimanfaatkan untuk
sayuran, misalnya Lactuca sativa atau
daun selada, kenikir atau Cosmos caudatus,
sintrong atau Crassocephalum crepidioides,
dan daun andewi atau Chicorium endivia.
Beberapa Asteraceae dapat menghasilkan polisakarida yang berupa fruktan dan
inulin merupakan suatu fruktosa bukan pati (glukosa) pada umbinya, misalnya
pada Dahlia dan Helianthus tuberosus. Fruktan dan inulin tersebut baik untuk
penderita diabetes, karena penderita diabetes dapat mengkonsumsi fruktosa
dibandingkan dengan glukosa. Bahan pewarna dapat diperoleh dari bunga Cosmos sulphureus untuk warna kuning dan
Tithonia rotundifolia untuk warna
kuning dan oranye. Beberapa jenis yang
berkasiat obat antara lain Sonchus
arvensis daunnya untuk pengobatan batu ginjal dan akarnya untu obat batuk,
asma dan bronchitis. Daun Porophyllum
ruderale untuk obat sariawan dan kulit phon Vernonia arborea dikunyah untuk obat sariawan. Daun Ageratum conyzoides untuk obat luka dan
menghentikan diare. Seluruh bagian tumbuhan Vernonia
arborea dapat dipakai untuk obat diare. Blumea
balsamifera dapat diekstrak untuk bahan camphor. Ageratum conyzoides, Chrysanthemum
cinerarifolium Vis., Tagetes erecta
dan Tridax procumbens dipakai untuk bahan insektisida. Beberapa jenis yang
sangat disukai untuk tanaman hias adalah:
Beberapa jenis yang disukai untuk tanaman hias antara lain adalah :
Aster novae-anglieae L., A.
novi-belgii L., Chrysanthemum
morifolium Ramat., Coreopsis
grandiflora Sweet, C. tinctoria
Nutt., Comos bipinnatus Cav., C. sulphureus Cav., Dahlia pinnata, Gerbera
jamesoni Adlam, Helianthus anuus,
H. angustifolius L., Leucanthemum vulgare Lam., Sphagneticola trilobata, Solidago canadensis L., Tagetes erecta L., Tithonia rotundifolia (Mill.) S. Blake dan Zinnia elegans Jacq. Beberapa jenis yang dijual sebagai bunga
potong antara lain: Aster, Chrysanthemum,
Dahlia, Gerbera dan Solidago.
Semua jenis ini tumbuhan pendatang biasanya dibudidayakan di dataran tinggi di
Indonesia. Selain diketahui beberapa jenis suku Asteraceae yang bermanfaat,
banyak yang dikenal sebagai tumbuhan gulma yang sangat menganggu. Baik itu
gulma yang dikenal di system pertanian maupun gulma lingkungan. Sebagian besar
jenis suku Asteraceae di Indonesia adalah tumbuhan pendatang bukan jenis asli
Indonesia. Baik didatangkan dengan sengaja untuk dibudidayakan maupun yang
datang tidak sengaja biji-bijinya terikut komoditi perdagangan seperti kopi,
teh, tembakau, kontaminan biji2 tanaman hortikultur yamg diimpor dan sebagainya.
Banyak diantaranya yang kemudian dapat beradaptasi, berkembang dengan cepat dan
kemudian menjadi tumbuhan gulma yang sulit dikendalikan.
Contoh investasi yang sangat merugikan adalah
gulma kirinyuh atau Chromolaena odorata yang
menjadi masalah di Taman Nasional Pangandaran dan Ujung Kulon yang menjadi
daerah konservasi banteng. Masalah yang sama juga terjadi di Nusa Tenggara
Timur di padang penggembalaan hewan ternak. Padang rumput pengembalaannya
dipenuhi oleh kirinyuh sehingga areal padang rumput menjadi semakin sempit dan
banteng yang ada kekurangan makan. Daun kirinyuh tidak disukai banteng oleh
karena apabila termakan oleh banteng akan menyebabkan diare. Di hutan-hutan
yang telah dibuka, apabila ditumbuhi kirinyuh sangat rentan terbakar pada musim
kemarau, karena renting-ranting yang terbakar dapat memercikkan bola api.
Sekarang ini persebarannya telah merata keseluruh pulau di Indonesia. Kirinyuh
ini berasal dari Amerika Selatan, dan merupakan satu-satunya anggota marga Chromolaena yang sekarang ini tersebar
secara luas di wilayah tropik. Pertama kali ditemukan di Sumatera Utara di
Deli, Lubuk Pakam tahun 1932. di perkebunan tembakau, kemungkinan masuk ke
Sumatera melalui perdagangan tembakau. Setelah perang kemerdekaan umum dijumpai
di Sumatera sehingga disebut sebagai “semak merdeka” atau karena bunganya yang
berwarna putih keunguan disebut juga sebagai semak merdeka. Kemudian dengan
cepat menjadi gulma penting, tersebar luas di Sumatera dan merambah ke
pulau-pulau lain di Indonesia.
ARISTOLOCHIALES
Perlu perbaikan sesuai dengan penulisan yang umum
PADMA-PADMAAN (RAFFLESIACEAE)
Harry Wiriadinata (Herbarium Bogoriense Puslit Biologi LIPI, Bogor)
Dalam dunia tumbuh-tumbuhan yang paling unik dan
dianggap sangat ajaib adalah bunga Padma (Rafflesia
arnoldii R. Brown), karena mempunyai ukuran yang yang paling besar,
berdiameter lebih dari 80 cm, sedangkan batang tumbuhannya hanya berupa
benang-benang atau miselium yang hidupnya sebagai holoparasit pada tumbuhan Tetrastigma (Vitaceae). Karena ukuran bunga
yang besar tersebut maka Rafflesia
arnoldii dikenal dengan nama padma raksasa. Keberadaan bunga unik ini
persebarannya sangat terbatas dan statusnya sudah sangat langka sehingga dipakai
sebagai symbol dari kepedulian pemerintah didalam melestarikan semua tumbuhan
langka yang terdapat di Nusantara.
untuk puspa langka yang statusnya dilindungi perundang-undangan R.I.
Bunga
Rafflesia arnoldii pertama ditemukan di daerah Bengkulu oleh rombongan Dr.
Arnold. Bunga ini sudah tidak asing lagi
dan mudah dikenali. Kuncup bunga dilindungi oleh sisik daun pelindung berwarna
coklat. Bunga mekar mempunyai diameter (55) 70-100 cm. Warna bunga merah tua
dengan bintil-bintil memucat. Cuping
perhiasan bunga ada 5, panjang 24-25 cm, lebar 28-33 cm. Diaphragma 44-47 cm.
Diameter tugu tengah 18-20 cm dengan cuatan (prosesus) berjumlah 42. Bunga ini
berkelamin tunggal. Pada bunga jantan akan terdapat bulatan-bulatan benangsari
pada tepi bagian bawah piringan (disk) sedang pada bunga betina bulatan
tersebut tidak ada. Bakal biji letaknya dibagian dalam tengah tugu, tersebar
dalam rongga-rongga.
Rafflesia arnoldi merupakan tumbuhan
holoparasit yang tumbuh pada batang Tetrastigma
leucostaphylum (Dennst.) Alston
(sinonim T.lanceolarium
(Roxb.) Planch.). Menurut Meijer jenis ini dapat dibagi dalam 2 varietas yaitu
var. arnoldii yang mempunyai persebaran cukup luas dan var atjehensis (Koord.) Meijer yang hanya
terdapat di Aceh. Informasi mengenai kegunaan
atau pemakaian tumbuhan ini di
Indonesia sangat sedikit. Di Kalimantan
Barat dan di Sarawak kuncup bunga jenis
ini diperjualbelikan untuk dibuat obat.
Kerusakan habitat
tumbuhan inangnya sangat berpengaruh terhadap keberadaan dan kehidupan
bunga tersebut. Berdasarkan catatan yang dikumpulkan oleh Meijer (1998) disebutkan bahwa tumbuhan ini pernah tumbuh
di Kebun Raya Bogor sekitar tahun 1856 dan berbunga pada Pebruari 1857.
Tercatat juga adanya tumbuhan ini pada
tahun 1872, 1874 dan 1875.
Tempat tumbuh bunga padma raksasa ini di hutan
primer dataran rendah hingga sedang pada ketinggian kurang dari 1000 m dpl.
Hasil pengumpulan contoh specimen yang terdapat di Herbarium Bogoriense,
persebaran Rafflesia arnoldii
meliputi Aceh, Sumatra Barat, Bengkulu, Lampung, Semenanjung Malaya dan
Kalimantan Barat
Akibat kerusakan habitat tempat tumbuh dan
lingkungannya mengakibatkan tumbuhan inang dan bunga padma mengalami kelangkaan
sehingga orang berpendapat bahwa hampir semua jenis padma sudah dalam status
Genting EN i B3 cd. Di Indonesia tumbuhan
tersebut dilindungi perundang-undangan sebagai tumbuhan yang dilindungi. Secara
hukum tumbuhan ini sangat dilindungi
berdasarkan Peraturan Pemerintah no 7, tanggal 17 Januari 1999. Secara
aktif beberapa habitat asli atau tempat
tumbuhan inang dan tumbuhan Rafflesia arnoldi yang terdapat di
beberapa tempat di Sumatra sudah dilindungi.
Selain padma raksasa Rafflesia arnoldii di Sumatra
masih terdapat beberapa jenis padma liar yang hidupnya di hutan dan
mempunyai status kelangkaan yang sama. Di Aceh dijumpai Rafflesia micropylora yang mempunyai bunga berukuran 60 cm pada
waktu mekar. Jenis ini dengan mudah dibedakan karena mempuntai lubang
diaphragma yang sangat kecil disbanding diaphragmanya. Dijumpai juga Rafflesia hasseltii Suringar atau
cendawan muka rimau, tindawan biring, nama yang diberikan oleh masyarakat
Talang Mamak di Jambi. Karena permukaan luar bunga terdapat lempengan lempengan
warna putih diselingi warna merah, jenis ini diberi nama Rafflesia merah
putih. Kuncup bunga sangat bervariasi
dalam tingkat kematangannya. Kuncup yang tua berdiameter 9-12 cm, tinggi 7-10
cm. Pada waktu mekar bunga berdiameter
35-50 cm, cuping perigone 11-13 cm, lebar 15-17 cm; berwarna
merah kecoklatan dengan lempang-lempang warna putih yang relatif besar tidak beraturan. Tabung
berukuran 18-20 cm, leher kolum 3 cm
sedangkan cuatan pada bunga jantan berjumlah 15-24, dan pada bunga betina sekitar 8 cuatan.
Jumlah bunga pada satu tumbuhan inang
sangat bervariasi, bisa berjumlah 10 atau lebih. Berdasarkan keterangan yang
didapat dari lapangan kuncup bunga tumbuhan ini
dipakai sebagai obat oleh masyarakat
Talangmamak di daerah Datai, Seberida
Tempat tumbuh biasanya di lantai hutan primer yang
lembab, dekat tepi sungai pada ketinggian 200-300 m dpl. Saat ini jenis
tersebut masih dapat dijumpai di Taman
Nasional Bukit Tigapuluh Sanglap Riau,
Jambi dan Taman Nasional Krinci Seblat.
Disamping jenis yang terdapat di Sumatra, maka di
Jawa masih dapat dijumpai 3 jenis padma yang ukurannya lebih kecil, pada waktu
mekarnya bunga berdiameter sekitar 20-35
cm, yaitu Rafflesia patma, R. rochussenii
dan R. zollingeri.
Jenis yang
dikenal dengan nama Rafflesia
patma Blume non Meijer mempunyai
nama daerah: Patma. Keberadaan tumbuhan ini
di alam sangat terbatas, terutama
diakibatkan oleh pengambilan kuncup oleh
masyarakat untuk dijuak sebagai bahan
jamu.
Persebaran tumbuhan ini terbatas pada beberapa
tempat dibagian selatan pulau Jawa saja sehingga merupakan tumbuhan endemik di
Jawa Barat dan Jawa Tengah , ditemukan juga di
Sumatra (Lampung). Bunga yang
mekar sempurna bergaris tengah 20-30
cm. Cuping perigone berukuran 13-14 (19)
cm, lebar 10-14 cm, berwarna merah kecoklatan dengan bintil-bintil warna keputihan. Lubang diaphragma sekitar 5-7 cm. Tugu
mendukung banyak cuatan-cuatan pada bagian atasnya. Di Jawa Tengah bunga
patma merupakan jenis yang paling banyak diambil untuk dijadikan bahan obat
dengan nama jamu patmasari yang diduga berkhasiat mengobati penyakit wanita dan meningkatkan
gairah seksual. Seperti halnya padma raksasa Kebun Raya Bogor pernah menanam tumbuhan ini pada tahun 1866, 1879
dan 1929. Teknik pembudidayaannya belum
diketahui secara baik sehingga sampai saat ini tumbuhan tersebut belum berhasil
dikembangbiakan.
Rafflesia
zollingeriana atau
dikenal denganPadma, patma (Jawa), kembhang pakma (Madura). Berdasarkan
penelitian Meijer, jenis ini sama dengan
jenis padma (R.patma) yang populasinya berada di Jawa Barat karena bentuk dan
ukuran bunga sangat mirip. Bunga pada
waktu mekar berdiameter 15-35 cm. Bunga yang mekar sempurna bergaris
tengah 20-30 cm. Cuping perigone berukuran 13-14 (19) cm,
lebar 10-14 cm, berwarna merah kecoklatan dengan bintil-bintil warna keputihan. Lubang diaphragma sekitar 5-7 cm. Tugu
mendukung banyak cuatan-cuatan pada bagian atasnya.
Tempat tumbuh sangat terbatas, hanya dijumpai di daerah hutan pantai
dataran rendah, atau hutan campuran mulai dari tepi laut - 100 m dpl..
Merupakan jenis endemik di daerah pantai Selatan Jawa Timur. Saat ini
terdapat populasi tumbuhan di cagar alam
Meru Betiri, namun penduduk lokal seringkali memungut kuncup bunga tumbuhan ini
untuk dijadikan bahan obat terutama bagi kaum ibu. Penyerbukan bunga dilakukan
oleh lalat hijau (Lucilia sp.), lalat
biru (Protocalliphora sp.) lalat
abu-abu (Sarcophaga sp.) lalat mata
hijau (Tabanus sp.) dan lalat buah (Drosophila melanogaster). Persebaran biji mungkin dilakukan
oleh serangga tanah, tupai, landak, babi
hutan dan kijang.
Selain ke 2 jenis yang persebarannya di perbatasan
Jawa Barat dan Tengah serta Jawa Timur tersebut terdapat jenis yang tidak
mempunyai cuatan, yaitu Rafflesia
rochussenii Teijsm. & Binn. yang persebarannya hanya di Jawa Barat. Jenis ini tumbuh pada inang
Kibarera (Tetrastigma) sehingga bunga padma yang satu ini mempunyai nama
daerah sunda: “perud kibarera”. Secara
sepintas bentuk dan ukuran bunga jenis ini sangat mirip dengan bunga padma (Rafflesia
patma). Bunga yang mekar sempurna bergaris tengah 12- 30 cm, tinggi 10 cm. Cuping perigone berukuran 5-6 cm, lebar 5-6
cm, berwarna merah kecoklatan dengan bintil-bintil warna keputihan. Lubang diaphragma sekitar 5-7 cm. Populasi
yang tersisa hanya terdapat di Taman Nasional Gn. Gede Pangrango dan Gn. Salak
. Sedangkan populasi di daerah lainnya
di Jawa Barat diperkirakan sudah punah.Tumbuh di lantai hutan perbukitan dan
hutan pegunungan pada ketinggian
700-1400 m. Vegetasi hutan tersebut
biasanya didominasi oleh suku pasang-pasangan (Fagaceae). Persebarannya sangat
terbatas, merupakan tumbuhan endemik di
Jawa Barat. Ditemukan di daerah hutan pasang-pasangan pegunungan Gunung
Salak, Gunung Gede/Pangrango dan pada waktu dulu di Jampang , Pelabuhan
Ratu, Garut dan Bandung Selatan. Seperti
jenis lainnya maka untuk tindakan kelestariannya tumbuhan ini dilindungi berdasarkan
peraturan pemerintah no 7, tanggal 17 Januari 1999. Secara in-situ populasi yang berada di taman nasional terlindungi secara pasif. Jenis ini belum
berhasil dibudidayakan. Penanaman melalui biji
belum pernah dilakukan. Kebun Raya Bogor pernah menanam tumbuhan ini
pada tahun 1850 yang berbunga pada
tahun1853 penanaman ini diperkirakan
dilakukan melalui penindahan tumbuhan inang yang telah terinfeksi kuncup Rafflesia sebelumnya.
Padma-padmaan (Rafflesiaceae) termasuk
tumbuhan berkeping dua, mempunyai 8 marga dan sekitar 50 jenis. Marga tersebut yaitu Apodanthes, Bdallophytum, Berlinianche, Cytinus, Pilostyles, Rafflesia,
Rhizanthes dan Sapria. Seluruhnya
meliputi tumbuhan tidak berdaun dan
tidak berchlorofil, perawakannya hanya berupa benang-benang yang sangat halus
hidup sebagai holoparasit pada inangnya Tetrastigma
leucostaphyum (Dennst.) Alston ex
Mabb (=T.lanceolarium (Roxb.) Planch.).
Mekarnya bunga secara sporadik dan tidak mempunyai waktu atau musim tertentu. Kuncup berbentuk bulat
seperti bola, besarnya tergantung dari jenis, namun pada waktu mekar bunga
dapat dibedakan antara tabung bunga (perigone tube) yang biasanya dilindungi
oleh beberapa daun pelindung dan cuping bunga (perigone lobes). Pada bagian
tengah terdapat diaphragma dan lubang yang terbuka disebut mulut diaphragma.
Pada marga Rafflesia cuping perhiasan
bunga (perigone lobe) berjumlah 5 sedangkan pada marga Rhizanthes cuping berjumlah 10 dan berukuran lebih sempit.
Tiap bunga mempunyai satu macam kelamin.
Pada bunga jantan stamen terdapat pada bagian tepi bawah dari piringan (disk),
biasanya berjumlah sekitar 22 bentuknya bulat berwarna putih kuning. Pada bunga
betina bakal buah terdapat pada bagian dalam tugu, bakal biji tersebar. Pada
waktu bunga mekar mengeluarkan bau seperti bangkai tikus yang merangsang serangga
untuk berdatangan. Sehingga diduga bahwa penyerbukan bunga dilakukan oleh lalat
hijau. Matangnya bunga kalau terjadi penyerbukan sangat lama sampai
berbulan-bulan, pada Rafflesia arnoldii
diperkirakan hampir 9 bulan. Bijinya berukuran mikroskopis, panjang sekitar 0,5
mm. Pemencaran biji diduga disebarkan oleh binatang, mamalia kecil seperti
tupai tanah, landak.
SANTALALES
Balanophoraceae
Agung Sedayu (Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Jakarta)
Suku Balanophoraceae merupakan kelompok tumbuhan dengan
memiliki pola hidup yang unik, namun jarang dikenal oleh masyarakat, bahkan
orang yang berkecimpung dalam bidang biologi sekalipun. Catatan Heyne (1927)
menunjukkan hanya masyarakat Jawa dan Sunda yang memiliki nama panggilan untuk
kelompok tumbuhan ini, yaitu perud.
Semua anggota suku Balanophoraceae adalah tumbuhan
yang tidak berklorofil, merupakan parasit pada akar tumbuhan lain, mirip dengan
Rafflesia (walaupun Rafflesia tidak
menempel pada akar, tapi pada batang inangnya). Suku ini memiliki rimpang
seperti umbi (tuberous rhizome);
berdaun atau tidak, jika memiliki daun tidak berklorofil, sehinga berwarna
merah, putih, kuning atau coklat. Perbungaan terminal, berbentuk membulat,
menggada, menjorong atau tongkol yang padat, memiliki banyak bunga. Bunga pada
rakis utama atau pada cabang perbungaan yang telanjang, berseling dengan daun
gagang (bractea) atau rambut, atau
tidak, uniseksual. Tepal 3—5 (biasanya 4), bebas, mengatup saat kuncup,
selanjutnya menghadap ke atas, atau berpautan membentuk tabung; benang sari (stamen) tak terhingga; tangkai sari
berpautan membentuk pilar; kepala sari berpautan membentuk bongkol yang
memiliki ruang ¥; ruang
tersebut merekah secara longitudinal. Bunga betina memiliki tajuk (perianth) yang menggala (adnate) terhadap bakal buah, atau tidak;
bakal buah berruang 1; bakal biji 1 atau rudimenter; tangkai putik 1—2; buah
tak bengang (indehiscent) (Backer
& Bakhuizen van den Brink 1965, Hansen 1975).
Jenis yang cukup sering dijumpai di sekitar daerah
Puncak, hingga Taman Nasional Gede Pangrango, Jawa barat adalah Balanophora elongata Bl.
Jenis tumbuhan ini memiliki batang yang muncul
dari umbi pangkal. Panjang total parasit termasuk umbi 2—30 cm. Umbi biasanya
merupakan massa berdiameter 1—25 cm, bercabang sejak pangkal, mengandung
substansi berlilin (balanophorine)
dalam kadar yang beragam. Umbi tunggal berukuran 1—6 cm x 1—6 cm, bulat telur,
menjorong atau bulat telur sungsang, kadang hampir silindris atau membulat.
Permukaan umbi berbutir halus hingga berkotakan
(tessellate) kasar, sering dengan bintil berbentuk bintang. Batang muncul dari
puncak umbi. Daun 2—40, berpangkal lebar, berpusar (whorled), berhadapan,
tersusun berseling hingga spiral. Perbungaan seperti tongkol, di ujung batang.
Bunga uniseksual, bertangkai atau tidak. Perbungaan jantan tandan-berbulir,
berukuran 1—18 cm ½--7 cm saat antesis. Perbungaan betina berbulir, membulat
telur, menjorong, membulat telur sungsang atau membulat, ½--7 x ½--81/2 cm,
dalam setiap perbungaan diperkirakan terdapat hingga 107 buah bunga.
Bunga didukung oleh daun gagang (bractea). Pada perbungaan betina daun gagang
berubah menjadi tongkol kecil berbentuk gada sepanjang ½--21/2 cm. Balanophora elongata Bl. dapat dioecious
atau monoecious. Bunga dengan tajuk 3, 4—5 atau 6, atau kasus khusus hingga 14
daun tenda, actinomorf, bisimetrik atau zigomorf; daun tenda bulat telur hingga
melancet, melancip atau hampir persegi dan rompong (truncate). Benang sari
membentuk sinandrium (synandrium) yang memanjang. Kepala sari terdiri dari 4—5
hingga banyak sel. Bunga betina tanpa tajuk. Bakal buah berukuran 0,2—0,7
mm x 0,15—0,4 mm, tangkai putik
berukuran panjang ½--11/2 mm, berbentuk stigmoid. Buah tak bengang (indehiscent), seperti geluk (nut). Embrio beberapa sel. Alat
penyebaran (diaspora) adalah buah
dengan bagian tangkai buah dan tangkai
putik.
Jenis ini ditemui pada ketinggian 1000—3000 m
sebagai parasit pada Strobilanthes
sp., Macropanax dispermus, Schefflera aromatica, Rhododendron retusum,
Vaccinium laurifolium, V. lucidum, Albizia lopantha, Ficus lepicarpa, F. ribes
dan lain-lain. Walaupun sepanjang hidupnya B.
elongata bergantung pada inangnya dalam hal nutrisi, namun kelihatannya
sebagai parasit sejati B.elongata
tidak sampai membunuh inangnya.
Balanophora
elongata Bl. mendapat nama
perud cantigi oleh masyarakat Sunda.
Rupanya nama daerah (Sunda) jenis suku Balanophoraceae bergantung dari jenis
inang yang ditumpangi oleh jenis tersebut (walaupun satu jenis Balanophora tidak merupakan parasit
spesifik satu jenis tumbuhan). Kelihatannya nama perud cantigi diperoleh karena individu-individu B. elongata yang ditemui banyak yang
menginfeksi tumbuhan Vaccinium spp. (cantigi).
Secara lokal, masyarakat Sunda menggunakan lilin
yang keluar dari umbi (balanophonine)
untuk bahan bakar obor (Hansen 1975, Backer & Bakhuizen van den Brink Jr.
1965, van Steenis 1972).
Jenis lain yang sering juga ditemui adalah Rhopalocnemis phalloides Jungh. Jenis
ini sering di Cagar Alam Telaga Warna, Puncak, atau Salabintana, Taman Nasional
Gede Pangrango, Jawa Barat. Tidak tercatat nama daerah yang digunakan
masyarakat untuk jenis ini.
Rhopalocnemis
phalloides Jungh. adalah
tumbuhan monoecious atau dioecious (perbungaan dapat monoseksual
atau biseksual) berwarna kuning atau kecoklatan. Pada titik pertemuan antara inang dengan akar
terbentuk umbi pangkal. Umbi dengan permukaan mengeriput, mengandung pati,
dengan panjang hingga perbungaan 15—25 cm. Umbi berukuran diameter 6—21 cm dan
panjang 6—13 cm dengan permukaan yang mengeriput tak beraturan; selongsong sekitar
batang sepanjang 1—5 cm , bercuping tak beraturan. Batang ber-perbungaan muncul
dari umbi dengan memecah jaringan luar umbi, berukuran panjang 2—10 cm dengan
diameter 2—5 cm, dengan sisik berbintil (warty)
yang tersusun spiral, sedikit terlengkung balik (recurved). Perbungaan seperti tongkol, uniseksual atau biseksual,
pada pertumbuhannya dilindungi sisik memerisai bersegi banyak yang memipih,
perbungaan dengan panjang 7—20 cm,
berdiameter 3—7,5 cm. Sisik bersegi banyak
bagian atas ½ cm, pada bagian tengah mirip dengan yang bagian bawah yang
membentuk struktur yang melengkung balik (recurving).
Bunga duduk, dikelilingi banyak rambut pendukung yang menghasilkan nectar;
bunga jantan dengan tajuk menabung merekah tak beraturan atau kelihatan pecah
menjadi 4 cuping; benang sari membentuk sinandrium (synandrium) berbentuk pilar dengan kepala sari membentuk bongkol
berisi 20—30 ruang (thecae) dalam dua baris; bunga betina dengan tajuk yang
mengala (adnate) pada bakal buah dan
membentuk 2 jengger pada puncak bakal buah; kepala putik mementol (capitate);
bakal buah memipih pada posisi anterior-posterior. Pada saat antesis, madu akan
dihasilkan dari bulu-bulu tipis di antara bunga-bunga betina.
Jenis ini sebenarnya tersebar cukup luas, mulai
dari Himalaya timur, Indocina, Sumatr, Jawa, Sulawesi hingga Maluku, di hutan
pegunungan berketinggian1000—2700 m dpl. Seperti Balanophoraceae lain, R. phalloides merupakan parasit pada
akar berbagai jenis pohon, seperti Ficus
fistulosa, Quercus pruinosa, Macaranga tanarius, albizia lopantha, Schima
wallichii dan lain-lain.
Marga
Balanophora dapat dibedakan dengan
marga Rhopalocnemis dapat dibedakan
dari bunga daun buahlate yang
telanjang dengan satu tangkai putik pada Balanophora
dan bunga daun buahlate dengan tajuk berbentuk tabung dengan dua tangkai putik
pada Rhopalocnemis (Keng 1969)
Penyerbukan Balanophoraceae kemungkinan dilakukan
oleh serangga. Kawakita & Kato
(2002) melaporkan mekanisme penyerbukan pada B. kuroiwai dan B. tobiracola
di Jepang) yang dilakukan oleh semut, kecoak dan ngengat pyralid yang memakan nektar yang dikeluarkan kelenjar netktar di
antara bunga. Semut dan kecoak bertanggungjawab terhadap penyerbukan
geitonogami, sementara ngengat kelihatannya bertanggungjawab terhadap
penyerbukan silang out-crossing.
Mekanisme germinasi biji Balanophora pada akar inang telah diamati oleh Shivamurti dkk.
(1981). Biji Balanophora menempel
pada akar inang dengan bantuan endosperma biji di kutub radikula yang membentuk
struktur seperti tabung yang berfungsi sebagai jangkar biji dengan akar inang.
Selanjutnya radikula akan berkembang sebagai haustorium yang akan menembus
ikatan pembuluh akar inang.
Tidak banyak penelitian tentang kandungan kimia
pada Balanophoraceae. Heyne (1927) hanya menyebutkan bahwa jenis-jenis Balanophora
banyak menghasilkan lilin, yang kemudian dikenal dengan nama balanophonine (Mitsumasa dkk. 1982).,
namun tidak menyebutkan kandungan kimia di dalamnya. Baru-baru ini hasil
spektroskopi menunjukkan jenis Balanophora
latisepala mengandung dua jenis senyawa baru yang diketahui sebagai loganin 6'-O- b-glukopiranosida and 4-O-(6'-O-p-kumaroyl-b-glukopiranosil) koniferil aldehida
bersama-sama tujuh senyawa lain yang telah dikenal, yaitu koniferin, koniferil
aldehida, koniferil aldehida b-glukopiranosida,
8-epiloganin, (7S,8R) dehidrodiconiferil alkohol dan (+)-pinoresinol-b-glukopiranosida (Kanchanapoom dkk. 2001).
Pada Klasifikasi APG II (2003), Balanophoraceae
merupakan salah satu suku dengan posisi taksonomi yang sama sekali belum jelas,
dan belum dapat ditempatkan pada bangsa atau kelas tertentu.
VERBENACEAE
Priyanti (Jurusan Biologi Universitas Islam
Negeri)
Tectona
grandis L.f. Nama daerah:
Jati (Jawa, Sunda, Indonesia), Jaten (Madura). Kayunya dapat digunakan untuk
bangunan rumah dan industri mebel. Daun oleh penduduk digunakan sebagai bahan
pembungkus. Tanaman jati tersebar di Asia Tenggara dan Malesia Barat. Tumbuh
pada ketinggian 1- 800 m dpl. Di Indonesia pertumbuhan jati tidak begitu baik
pada ketinggia di atas 700 m dpl. Jati ditanam selain untuk diambil kayu dan
daunnya, ternyata juga dapat digunakan sebagai tanaman penahan angin, tanaman
pelindung atau peneduh, dan pencegah banjir atau erosi.
Pohon, tinggi 25-40 m. Batang jauh di atas tanah
baru bercabang, pada daerah yang subur batang tumbuh tegak dan lurus tetapi pada tanah-tanah yang miskin
hara batang tumbuh melengkung. Tajuk tidak beraturan atau membulat telur, dahan
bengkok dan bercabang banyak. Bagian tubuh yang muda dan pada sisi bawah daun berbulu
vilt rapat, berbentuk bintang. Daun bertangkai pendek atau duduk, membulat
telur, ujung berbentuk baji dengan pangkal menyempit, panjang 23-40 cm, lebar
11-21 cm, daun umumnya berwarna hijau di bagian atas dan hijau
kekuning-kuningan di bagian bawah, daun muda berwarna cokelat kemerah-merahan.
Bunga di ujung, tersusun menganak payung menggarpu, berambut serupa tepung,
ditutupi oleh kelenjar. Bunga umumnya berbilangan 6-7, jarang 5, berdiameter
lebih kurang 1 cm. Kelopak bentuk lonceng, ketika menjadi buah membesar dan
melembung. Mahkota bentuk jantera corong, menabung pendek, putih kadang-kadang
agak kemerahan, leher tidak berambut. Benang sari sebanyak taju bunga. Bakal
buah beruang 4. Bakal biji 4. Ujung tangkai putik terbelah dua pendek. Buah
berambut kasar, daging tebal, biji 2-4.
Semak, perdu tegak atau memanjat, atau pohon
kadang-kadang berduri, tidak bergetah. Batang atau ranting umumnya berbentuk
segi empat. Daun berhadapan atau berkarang, tanpa daun penumpu, tunggal atau
majemuk, terdapat titik kelenjar. Bunga zygomorf, berkelamin 2. Kelopak berdaun
lekat, terpancung atau dengan gigi taju 2-6, tetap melekat. Mahkota berdaun
lekat, tepinya sering berbibir 2 sedikit atau banyak, bertaju 4-8. Benang sari
2 atau 4-8, terletak pada tabung mahkota, lepas, sama atau beberkas 2, kepala
sari beruang 2. Staminodia tidak ada atau kecil. Tonjolan dasar bunga kecil.
Bakal buah menumpang, beruang 2 dengan 1-2 bakal biji tiap ruang atau beruang 4
dengan 1 bakal biji setiap ruang. Putik 1, bulat atau berlobus 2. Buah batu,
berdaging tak berair atau berair. Biji 1-8.
DAFTAR PUSTAKA
Afriastini, J.J. 2003. Marsilea crenata C. Presl.
dalam: de Winter, W.P. & V.B. Amoroso. 2003. Plant resources of South-East Asia no
15 (2). Cryptogams: Ferns and fern allies, Prosea Foundation, Bogor: 133—135.
Alston, A.H.G. 1935.
The Selaginellaceae of the Malay
Islands: 1. Java an the Sunda Islands. Bulletin
Jardin Botanique de Buitenzorg 3 (13): 432-442.
Ando, H. & A. Matsuo. Applied Bryology. Dalam Advances in Bryology 2 :
152-162
Anonymous. 2003. An update of the Angiosperm
Phylogeny Group classification for the orders and families of flowering plants:
APG II. Botanical Journal of the Linnean
Society, 141: 399–436.
Anonymous. 2004.
An Interactive Key to Malesian Seed Plants" v. 1.0. The
Nationaal Herbarium Nederland
Leiden and The Royal Botanic
Gardens
Anthony, F., Clifford, M. N. & Noirot, M. 1993.
Biochemical Diversity in Coffea:
Chlorogenic Acids, Caffeine and Mozambioside Contents. Genet. Resources & crop evol.40.
Araghiniknam M, S. Chung, T. Nelson-White, C. Eskelson,
R.R. Watson. 1996, Antioxidant activity of Dioscorea
and dehydroepiandrosterone (DHEA) in older humans. Life Sci, 59(11): 147—57.
Backer C.A. & Bakhuizen van den Brink Jr R.C.
1965. Flora of Java. Vol
II. NVP. Noordhoff-Groningen,The
Neherlands. p 225.
Backer CA
& Bakhuizen van den Brink RC. 1965.
Flora of Java. vol 2. pp 36–51
Backer CA. 1951.
Flagellariaceae. dalam: van Steenis,
C.G.G.J. 1948—1954. Flora Malesiana
Series 1 vol 4. Noordhoff-Kolff N.V. Jakarta, 245—248